Advertiser

Your Ad Here

Ekonomi Islam

Pendahuluan
by anak ep(kyake Andri)
Pemikiran Islam, boleh dikatakan merupakan sumber bagi inspirasi yang sangat dominan bagi kejayaan peradaban Arab klasik. Sejarah telah membuktikan bahwa jika bukan karena kelahiran Islam sebagai agama kosmopolitan di semenanjung Arabia, niscaya Arab sedikitpun tidak akan mempunyai estimasi penilaian dalam kancah peradaban dunia. Arab hanyalah suatu bentuk masyarakat Badawi yang hidup dalam komunitas kecil di padang pasir jazirah Arabia, belum pernah mengenal bentuk sebuah kebudayaan dan peradaban besar.
Maka kemunculan Islam di tengah komunitas Badawi ini sebagai pemberi ruh lahirnya sebuah peradaban agung yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Hanya dengan satu sumber ajaran Islam saja misalnya, yaitu al-Quran, umat Islam mampu menelorkan berbagai macam disiplin ilmu. Muncul ilmu nahwu, sharaf, tafsir, balaghah, fiqh, sejarah, ilmu kalam dan lain-lain. Begitu juga dengan hadits nabi, melahirkan pula sekian banyak cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu hadits, ilmu rijal, takhrij dan lain sebagainya. Dari sini dapat diambil sebuah konklusi, bahwa kegemilangan yang pernah dicapai oleh peradaban Arab klasik, merupakan jelmaan dari kontribusi pemikiran yang pernah disumbangkan oleh Islam.
Ketika political power umat Islam berada di bawah pemerintahan khilafah Bani Abbasiyah, kehidupan ilmiyah dan kebebasan berfikir sangat menonjol, meski di lain pihak kehidupan istana penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan. Sehingga pemikiran-pemikiran cemerlang dan ide-ide brilian untuk kemajuan peradaban umat manusia, dapat dijumpai di masa tersebut.
Namun angin perubahan menerpa dunia pemikiran tatkala political power mulai dipegang oleh daulah Turki Utsmani. Boleh dikata kondisi terburuk dari kemerosotan pemikiran Islam terjadi pada periode ini. Meskipun tidak diingkari, bahwa Turki Utsmani mempunyai kontribusi besar untuk kejayaan Islam di bidang ekspansi militer. Namun kemajuan di bidang militer ini tidak diimbangi oleh kemajuan di bidang intelektual. Akibatnya umat Islam mulai diliputi oleh kejumudan dan stagnasi berfikir.

Mukaddimah
Dari kejumudan berfikir inilah, bahaya mulai mengancam peradaban Islam. Piramida peradaban Islam mulai menunjuk ke arah bawah, dan dari sinilah titik tolak kemunduran peradaban Islam yang dirasakan oleh umat Islam hingga saat ini.
Kondisi di atas, menyebabkan terputusnya mata rantai pemikiran Islam antara masa akhir kekuasaan Bani Abbasiyah dengan masa pasca kolonialisme. Kedatangan kolonoalisme Eropa ke dunia Islam menjadikan keterputusan mata rantai peradaban Islam itu semakin merenggang, karena tujuan kedatangan mereka disamping sebagai penjajah dan pemeras, juga memasukan misi ideologi yang mereka anut di Barat. Sehingga bermunculannya para cendikiawan dan intelektual Islam pada era pasca kolonialisme, yang berusaha untuk menyambungkan kembali keterputusan mata rantai itu, ternyata telah mengalami perbedaan visi dan kecenderungan ideologis masing-masing.
Artinya, sejarah umat Islam selalu dihiasi oleh prestasi-prestasi yang agung dalam segala bidang pengetahuan dan kesusasteraan. Begitu juga sejarah Islam tidak pernah sepi dari kisah-kisah pembaharu di lahan pemikiran. Apabila kita lihat sepintas lalu dalam khazanah pustaka Islam, realitas itu dapat tergambar begitu jelas.
Di antara para pemikir dan ulama besar itu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mempunyai prestasi gemilang yang membawa pengaruh besar dalam transformasi pemikiran Islam di zamannya, bahkan jangkauan ke depan hingga berpengaruh pula kepada generasi pembaharu sesudahnya.


Era Ibnu Taimiyah dilahirkan
Era Ibnu Taimiyah dilahirkan, di saat kondisi lingkungan banyak bermunculan faham-faham baru dan hujjah-hujjah baru serta kejadian-kejadian yang sangat mengkhawatirkan. Yaitu era yang memiliki banyak kepentingan besar dari berbagai segi, diantaranya segi politik, sosial masyarakat, peradaban, keilmuan dan spiritual.
Di saat banyak perkembangan-perkembangan besar seperti ini, di saat itu juga kondisi negeri yang sedang tidak memungkinkan dan tidak stabil, untuk cepat dalam merenovasi keadaan. Yaitu ketika Ibnu Taimiyah lahir setelah sabotase negeri Baghdad selama lima tahun, masuknya tentara Tatar di pelbagai penjuru, sedangkan Damaskus hanya tiga tahun saja. Konsekwensinya secara nalar adanya jiwa untuk membangkitkan keruntuhan negeri Islam. Di sana tidak asing tentang cerita pembantaian umat muslim dan cerita-cerita biadab yang dilakukan tentata Tatar di setiap tempat.
Beliau telah hidup di suatu masa yang terdapat banyak bidah dan kesesatan. Banyak isme-isme yang batil berkuasa. Semakin bertambah pula syubhat (racun pemikiran). Kebodohan, taashub (fanatik) dan taqlid buta (mengikuti seseorang tanpa dalil) semakin tersebar.
Dari sini, kita akan mendapati potret masa beliau dengan jelas dan gamblang melalui buku-buku beliau. Karena beliau sangat perhatian dengan urusan kaum muslimin. Beliau juga berperan serta menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan pena, lisan dan tangannya. Sejarah mencatat kondisi ketika Ibnu Taimiyah hidup, ada beberapa kondisi yang mengkhawatirkan.
1. Semakin banyaknya bidah dan syirik, lebih-lebih kesyirikan yang terdapat di sekitar masyahid dan kuburan yang diagungkan. Juga itiqod (keyakinan) yang batil terhadap orang yang hidup dan yang mati. Mereka diyakini dapat memberi manfaat dan dapat memberi kesusahan, serta diyakini sebagai tempat mengadu.
2. Tersebarnya filsafat, penyimpangan, dan perdebatan.
3. Tasawuf dan tarekat-tarekat sufi yang sesat menguasai orang-orang awam. Tersebar pula di sana isme-isme dan pemikiran Bathiniyyah.
4. Rafidhah semakin berperan dalam urusan kaum muslimin. Mereka menyebarkan bid̢۪ah dan kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka mengendurkan semangat umat untuk berjihad. Bahkan mereka membantu pasukan Tatar yang merupakan musuh kaum muslimin.
5. Pada akhirnya, Ahlusunnah wal Jamaah tidak se-otentik dahulu. Pada saat seperti inilah Ibnu Taimiyah memotivasi dan memberikan semangat kepada Ahlusunnah, guna mengekembalikan ke-otentik-an Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini memiliki pengaruh yang bagus bagi kaum muslimin hingga saat ini dalam menghadapi bidah dan kemungkaran, amar maruf nahi munkar, menasihati pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum.
Syaikhul Islam di zamannya tegar dalam menghadapi penyimpangan-penyimpangan ini dengan sikap yang telah diakui. Beliau memerintahkan, melarang, menasihati, menjelaskan sehingga Allah memperbaiki banyak keadaan kaum muslimin melalui tangan beliau. Allah telah menolong Sunnah dan Ahlusunnah melalui beliau.


Kondisi keilmuan
Kebangkitan ulama besar diawali dengan bermunculannya pembaharu-pembaharu islam dan ulama-ulama yang kapabel di bidangnya masing-masing di era pertengahan. Berkembang bak aliran deras air. Diantaranya Taqiyuddin Abi Amr bin al-Shalah (577-643 H.), Syeikh al-Islam Izzuddin bin Abd al-Salam (578-660 H.), al-Imam Muhyiddin al-Nawawi (631-676 H.) dan bermunculan di akhir abad ini ulama-ulama besar seperti ahli hadits Syiekh al-Islam Taqiyuddin bin Daqiq al-Ied (625-702 H.), ahli Ushul dan Kalam Ala al-Addin al-Bajy (631-714 H.), sedangkan ulama besar ahli Hadits dan Sejarah yang se-era dengan Ibnu Taimiyah seperti Jamaluddin Abi al-Hajaj al-Muzay (654-742 H.) dan al-Hafidz Ulum al-Din al-Barzaly (665-739 H.) dan Syamsuddin al-Dzahabi ( 673-847 H.) yaitu orang-orang yang menegakkan al-Arkan al-Arbaah untuk hadits dan riwayat di masa mereka, dan orang-orang yang berpegang atas kitab-kitab ulama mutaakhirin.


Biografi hidup Ibnu Taimiyah
Pada saat kondisi inilah Ibnu Taimiyah terlahir, dengan nama Ahmad Taqiyuddin Abu al-Abbas ibn al-Syeikh Syihab al-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim ibn al-Syeikh Majd al-Din Abi al-Barakat Abd al-Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi al-Qasim al-Khidir bin Ali bin Abdullah. tepatnya di Harran 10 Rabiul Awal 661 H./22 Januari 1263 M. Harran adalah sebuah negeri dekat dataran Eropa, terletak antara Dajlah (Tigris) dan Furat (Euphrat).
Keluarga baik ini dikenal dengan sebutan (Bani Taimiyah). Ibnu Taimiyah sebuah nama yang sudah masyhur sejak lama, awal mula penamaan Ibnu Taimiyah adalah berawal dari sebuah nama ibu dari Muhammad bin al-Khidir. Disebutkan juga bahwa kakeknya yang bernama Muhammad bin al-Khidir pergi ke gerbang padang sahara (Taiyma), lalu di sana ia melihat seorang anak perempuan kecil bernama Taimiyah, kemudian ketika kembali ke rumahnya, ia mendapatkan istrinya melahirkan seorang anak perempuan, maka ia langsung menamakan anak perempuan yang baru lahir itu dengan nama Taimiyah. Maka seluruh anggota keluarga ini dinisbatkan kepadanya yang kemudian dikenal dengan nama ini.
Menjelang usia tujuh tahun, Ibnu Taimiyah pindah ke Damaskus bersama keluarganya, disebabkan serbuan tentara Tatar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tungganganpun pada mereka. Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah swt. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat sampai tujuan atas pertolongan Allah. Setiba di Damaskus ayahnya diangkat sebagai guru besar dan pemimpin Madrasah Sukkariyah. Di sanalah Ibnu Taimiyah dibesarkan dan terkenal. Keluarganya dikenal sangat berpengetahuan. Ayahnya bernama al-Syeikh Sihabuddin Abd al-Halim bin Majduddin, seorang pengikut mazhab Hambali yang memiliki sejumlah karya. Ayahnya wafat pada tahun 682 H. dan di kebumikan di pekuburan para Sufi.
Dikisahkan tentang kehidupan ayahnya, "Tidak pernah mengajar melalui catatan atau buku-buku, atau perangkat lain yang dapat membangkitkan (menguatkan) daya ingatnya. Namun sang ayah mengajarkan dengan intuitif dan kecermelangan akalnya." Barangkali, kehebatan sang ayah inilah yang diwarisi oleh Ibnu Taimiyah, sehingga mempunyai kapasitas kecerdasan yang luar biasa, bahkan kelak menjadi argumentator yang tercatat dalam sejarah peradaban Islam.
Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama. Jadi, punya kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infak-kan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Hal tersebut terlihat di usianya yang relatif belia sudah menghafal al-Quran. Disamping hafal al-Qur'an, juga mendalami hadits dan riwayat. Berulangkali mempelajari kitab-kitab shahih seperti Musnad al-Imam Ahmad, Shoheh al-Bukhari, shoheh Muslim, Jami al-Turmudzi, Sunan Abi Daud, Sunan al-Nasai, Ibnu Majah, Dar Quthni. Ia juga sangat mahir dalam ilmu-ilmu sastra Arab, studi fiqih dan mempunyai prestasi langka dalam kecermelangan intelektualnya, memahami secara mendalam ilmu-ilmu syari'at dan filsafat serta kalam pada zamannya dan zaman sebelumnya. Dari sekian disiplin ilmu ia kuasai dan perdalam, rupanya ada satu disiplin ilmu yang lebih digandrunginya yaitu Tafsir al-Quran, sehingga apabila sudah berkutat dengan tafsir al-Quran, beliau tampak asyik sekali. Lebih dari seratus kitab Tafsir al-Quran dipelajarinya. Tak heran bila mengkaji satu ayat saja, dia akan menelaah puluhan tafsir. Ketika mengkaji tafsir, Ibnu Taimiyah tidak sekedar mengandalkan kecerdasan akal. Tapi juga kecerdasan spiritual. Dia akan selalu memohon kepada Allah swt. agar diberikan pemahaman, pergi ke masjid dan bersujud.
Beliau adalah imam, Qudwah, 'Alim, Zahid dan Da'i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun jihadnya. Semakin bertambah usia semakin luas wawasan yang dimilikinya. Semakin lama belajar semakin haus rasanya. Ibnu Taimiyah ketika berusia 17 tahun, telah diberi wewenang oleh Mufti al-Maqdisi untuk memberikan fatwa (keputusan hukum). Namun pada saat yang sama ia menolaknya. Ia tak mampu membujuk dirinya sendiri dengan berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa. Sehingga pada usia 22 tahun, Ibnu Taimiyah mengajar di perguruan Darul Hadits al-Syukriyyah, sekolah ternama yang hanya mau menerima tenaga pengajar pilihan. Meski masih tergolong muda, kecerdasannya mampu membuat guru-guru besar sekolah itu geleng-geleng kepala. Sungguh, siapapun mengakui kebrilianan guru saya yang usianya masih relatif sangat muda itu, ujar Ibnu Katsir, salah seorang siswa yang akhirnya juga menjadi ulama ternama.


Pertumbuhan dan ghirah-nya kepada ilmu
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan al-Qur'an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang.
Sewaktu kecil Ibnu Taimiyah tak suka bermain-main seperti anak-anak sebayanya, tetapi lebih asyik bergelut dengan buku. Dalam usianya yang rnasih sangat muda itu, dia sudah hobi menghadiri majlis pengajaran dan ceramah di samping ayahnya dan para ulama pada masa itu. Bahkan dia menyertai mereka dalam diskusi ilmiah yang menyebabkan kejeniusannya dan kecemerlangan hatinya makin nampak.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Suatu saat, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja datang ke Damaskus, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia".
Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau pernah berkata: "Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang musykil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, masjid atau madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh fuqaha dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.


Kepribadian Ibnu Taimiyah
Disamping aspek ilmu, pemahaman agama, dan amar maruf nahi mungkar (memerintahkan yang baik dan melarang dari kemungkaran) yang terkenal dari beliau, sungguh Allah telah mengaruniai beliau sifat yang terpuji yang sudah dikenali dan diakui oleh banyak orang. Beliau adalah orang yang dermawan dan mulia, selalu mengutamakan orang-orang yang membutuhkan melebihi dari diri beliau sendiri, baik dalam hal makanan, pakaian, dan selainnya. Beliau adalah orang yang sering beribadah dan membaca al-Quran. Beliau adalah orang yang wara dan zuhud, hampir-hampir beliau tidak memiliki sesuatupun dari kesenangan dunia, kecuali yang merupakan kebutuhan pokok (primer) dan sifat seperti ini sudah diketahui oleh orang-orang pada zamannya, sampai-sampai orang awampun mengetahuinya. Beliau juga orang yang tawadhu dalam penampilan, pakaian, dan dalam interaksi beliau dengan orang lain. Beliau tidak pernah memakai pakaian yang mewah atau pun jelek (beliau selalu berpakaian yang sederhana, tidak mewah dan tidak jelek). Beliau tidaklah memaksa-maksakan diri (berbasa-basi) terhadap orang yang beliau temui. Beliau terkenal sebagai orang yang kharismatik dan keras dalam membela kebenaran. Beliau memiliki kharisma yang luar biasa di depan penguasa, ulama, dan orang awam. Setiap orang yang melihat beliau, akan langsung mencintai, segan, dan menghormati beliau, kecuali ahlil bidah yang diliputi rasa dengki.
Sebagaimana beliau terkenal sebagai orang yang sangat sabar, beliau juga memiliki firasat yang kuat dan memiliki doa yang mustajab. Beliau juga memiliki karomah lain yang diakui.


Metode pemikiran Ibnu Taimiyah secara global
Di dalam metode pemikiran Ibnu Taimiyah, kita akan dihadapkan dengan sebuah istilah 'Salafiah' yang telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap 'salafiah'. Orang-orang yang pro salafiah, baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah, telah membatasinya dalam bingkai formalitas dan kontroversial, seperti masalah-masalah tertentu dalam ilmu Kalam, ilmu Fiqh atau ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa Manhaj Salaf adalah metoda 'debat' dan 'polemik', bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan 'Salafiah' ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra Salafiah, menuduh faham ini 'terbelakang', senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat dan fleksibel.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra Salafiah yang hakiki dari penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan 'Salafiah' dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim dan yang lainnya. Mereka inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan 'Pembaruan Islam' pada masa mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam. Mereka telah menumpas faham 'taqlid', 'fanatisme madzhab fiqh' dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, disamping kegarangan mereka dalam membasmi 'ashobiyah madzhabiyah' ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'i Ma lam 'an al-A'immat al-A'lam" karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap 'tasawuf' karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab 'al-Hulul Wal-Ittihad' (penyatuan diri dengan tuhan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan 'tasawuf' untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam 'Majmu' Fatawa' karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu Qoyyim. Yang termasyhur ialah 'Madarijus Salikin Syarah Manazil as-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in'.
Manhaj 'nalar' dan 'mengikuti dalil', melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya, itulah yang telah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah.
Metodologi yang diusung Ibnu Taimiyah dalam pemikiran dan tulisannya mengenai Tafsir, Akidah, Fiqh dan Tasawuf selalu dikuatkan dengan bukti atau dalil dari al-Quran dan sunnah, kemudian mendekatkan sunnah dengan nalar, menggunakan dan menentukan nalar hanya sekedar untuk nasihat bukan untuk gubahan, dan pendekatan bukan untuk petunjuk. Oleh karena itu, kita akan menemukan dan menentukan sebuah kesatuan sifat, tanda dan kepribadian yaitu kesatuan dalam satu metodologi saja.


Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah
Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah terdiri dari empat unsur;
1. Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak dalam menentukan hukum.
2. Ibnu Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu Taimiyah tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Atsar para ulama salaf yang mengikuti Nabi saw. tentang madzhab empat, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika pendapat-pendapat ulama Salaf sesuai dengan al-Qur'an, Sunah dan Atsar, mereka perlu kita ikuti, dan begitu juga sebaliknya. Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Hanifah mengatakan; ini adalah argumenku maka jika ada sebuah kebenaran dari argumenku ini maka itu dari hati yang paling dalam, Imam Malik mengatakan; Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan, maka periksalah pendapatku melalui al-Qur'an dan Sunnah, Imam Syafi’i mengatakan. Apabila terdapat kebenaran hadits maka tentukanlah pendapatku dengan teliti, dan Imam Ahmad mengatakan. Janganlah kamu mengikuti aku, Malik, Syafi’i juga al-Tsauri, dan belajarlah kamu sebagaimana kami mengajarkanmu, janganlah kamu mengikuti (taqlid) kepada seseorang dalam agamamu, karena sesungguhnya seseorang itu tidak terlepas dari kesalahan.
3. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Syariah itu bersumber dari al-Quran, nabi Muhammadlah yang menjelaskan dan memperaktekkannya kepada umat terlebih kepada para shahabat pada masa Nabi saw. Sehingga bagi orang yang mengikuti Nabi saw. lewat tafsir, penjelasan, dan penyampaian para shahabat berarti merekalah sejatinya orang-orang yang mengikuti syari'at Allah dari nabi Muhammad saw. merekalah (para Sahabat) yang menjaga ajaran Nabi saw. karena mereka yang langsung mendengar dan memahami Syariat Allah langsung dari Nabi saw. begitupun para Tabiin yang mendapatkan penyampaian dan pemahaman langsung dari para sahabat. Sebagaimana Ibnu Taimiyah menyatakan dalam kitab al-Risalah al-Wasathiyah, terkadang aku menangguhkan dari apa yang ada di tahun tiga, sehingga apabila telah datang satu pendapat dari periode ketiga yang tidak sesuai dengan di atas maka aku mengembalikannya kepada al-Qur'an dan Sunnah, jika sesuai dengan apa yang telah di bawa Nabi, Sahabat dan Tabiin maka aku menetapkannya. Yang dimaksud dengan periode tiga itu adalah periode setelah Nabi, Sahabat dan Tabiin.
4. Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang sesuai dengan al-Qur'an, Sunnah dan Atsar Salaf. Ibnu Taimiyah tumbuh pada dirinya lewat madzhab Hambali, akan tetapi Ibnu Taimiyah dapat mengontrol diri, sehingga Ibnu Taimiyahpun mempelajari dan memperdalam madzhab-madzhab secara keseluruhan, kemudian menghubungkan semua dalam satu sumber.


Spesifikasi Ibnu Taimiyah di bidang keilmuan
Keluasan Ibnu Taimiyah dalam keilmuan yang sempurna, merasakan kelezatan ilmu pengetahuan, menghasilkan karya-karya dari keluasan ilmunya dengan hasil yang sempurna. Jiwanya yang penuh dengan cita-cita mulia, nalarnya yang jarang ditemukan, penanya yang mengalir dan sangat intens, sehingga banyak menghasilkan karya di beragai bidang diantaranya:

1. Tafsir
Tafisr adalah disiplin ilmu yang lebih digandrungi Ibnu Taimiyah dengan mengumpulkan dan membukukannya. Seperti motif yang dipilih dengan memahaminya melalui indera perasa kecendrungan daya rasa, menentukan kecendrungan tafsir terhadap batas yang tidak lepas dari sumber al-Quran dan Sunah serta Atsar Salaf untuk menyusun maddah tafsir. Mengambil dalil dengan ayat-ayat, lalu menjelaskan dan menafsirkanya, sehingga tidak lepas dengan ayat dan memperolehnya dengan penjelasan dan penafsiran. Dan oleh karena itu, dengan keluasannya tentang tafisr, Ibnu Taimiyah dapat menyelesaikan karyanya sampai tiga puluh jilid, sebagaimana yang dikatakan oleh muridnya.

2. Hadits
Walaupun tidak ditemukan sebuah disiplin ilmu hadits dan Syarh-nya secara independen. Tetapi disiplin ilmu ini sudah mencapai puncaknya, mengalami masa gemilang dan sempurna di antara era ketujuh dan delapan, karena jika dikembalikan pada masa itu kebutuhun akan membukukan, mengarang atau bahkan syarh hadits, akan tetapi karya-karyanya meliputi berbagai maddah melalui dorongan yang kuat untuk mengumpulkan pokok-pokok hadits, perawi, Jarh, imam, dan kritik hadits, fiqh serta hadits, seperti kitab 'Minhaj al-Sunnah'.

3. Ushul Fiqh
Tema yang diusung Ibnu Taimiyah dalam ushul Fiqh melalui hasratnya yang kuat, Ibnu Taimiyah dapat menggapai tujuannya sebagai orang yang memiliki bakat, naluri yang kuat, serta kedudukannya dalam berijtihad. Dan oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa karya-karya yang dihasilkan Ibnu Taimiyah keseluruhannya meliputi pembahasan-pembahasan ushuliyah. Lebih-lebih kitabnya yang berjudul; Iqtidza al-Shirath al-Mustaqim, Majmu Fatawa, Risalah al-Qiyas, Minhaj al-Wusul ila Ilm al-Ushul, dan lain-lainya.

4. Fiqh
Disiplin Ilmu Fiqh di setiap madzhab memiliki corak masing-masing sesuai masanya, yang tidak bisa dilepaskan dengan masa tersebut. Ibnu Taimiyah telah menggeluti banyak bidang tentang masalah-masalah dan hukum-hukum yang dilengkapi dengan al-Qur'an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan Ushul Fiqh. Dan menegakkannya sebagai istinbat dan Ijtihad. Dan mencoba menyesuaikan antara al-Fiqh dan al-Sunnah serta menjadikan cabang dan argumen Fiqhiyyah yang dikaitkan dengan hadits-hadits shoheh. Tentunya dengan mengambil hukum-hukum dari al-Qur'an dan sunnah.
5. Ilmu Kalam
Kalau kita berpandangan dan menganalisa karya-karya Ibnu Taimiyah maka kita akan menemukan disiplin Ilmu kalam dan akidah yang hampir mencapai setengah karya-karyanya atau sepertiga karyanya. Risalah-risalah yang Ibnu Taimiyah susun dalam terma ini akan didapati di berbagai kota dan tempat yang berbeda-beda, seperti Syarh al-Ashbahiyah, al-Risalah al-Humawiyah, al-Tadmiriyah, al-Wasathiyah, al-Kilaniyah, al-Baghdadiyah, al-Azhariyah dan lain sebagainya.


Spesifikasi pemahaman al-Quran
Lebih spesifik lagi penulis mencoba menguraikan metodologi pemahaman Ibnu Taimiyan tentang tafsir al-Quran. Di sana kita akan menemukan bahwa Ibnu Taimiyah dalam metodologi tafsirnya tidak lepas dari metode yang diusung ulama Salaf. Metode-metodenya dari berbagai segi selalu mengikuti pendapat para ulama Salaf. Serta tidak mencampurnya kepada selain ulama Salaf. Yang pertama kali kita dapati dalam metode Ibnu Taimiyah dalam tafsir, Ibnu Taimiyah berkeyakinan kuat bahwa Nabi saw. adalah penjelas al-Quran secara keseluruhan. Tidak pernah beliau tinggalkan sebagianpun, yang membutuhkan kepada penjelasan, yang tidak dijelaskan, dan tidak sebagianpun yang membutuhkan perincian, yang tidak dirinci.
Karena meyakini hal tersebut adalah sebagian dari keimanan kepada al-Quran atau apa yang di bawa oleh nabi Muhammad saw., karena sesungguhnya Allah swt. telah bersabda kepada Nabi-Nya ...Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka... (Q.S. an-Nahl: 44).
Bahwa mereka para shahabat- menerima penjelasan langsung dari Rasulallah, Rasulallah mengajarkan al-Quran, mengajarkan tentang hukum-hukum dan akidah, mengajarkan makna-maknanya, begitupun lafad-lafadnya. Sebagaimana Abdurahman al-Salma dalam kitabnya yang berjudul Muqadimah Fi Ushul al-Tafsir li Ibnu Taimiyah menjelaskan: Diriwayatkan kepada kita, bahwa merekalah orang-orang yang membacakan al-Quran kepada kita, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Masud dan lainnya, bahwa mereka ketika mempelajari 10 ayat dari Nabi saw. maka mereka tidak akan mencampurinya dengan hal lain, sampai mereka benar-benar memahami apa yang telah disampaikan Nabi saw. dan mereka mengamalkannya dengan ilmu dan amal. Mereka mengatakan ajarkanlah kepada kami tentang al-Quran, ilmu dan amal.
Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa sahabat dalam mengambil al-Quran tidak lain mesti disertai dengan makna-maknanya, memahami apabila mereka telah menghafal al-Quran, dan mesti memahami maknanya yang terkandung. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa: sesuatu hal yang sudah dimengerti dan difahami setiap ucapan yang dimaksud tidak lain adalah pemahaman akan maknanya bukan sekedar lafadnya saja".
Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa para Tabiin pun menerima tafsir al-Quran lewat para Sahabat. Sebagaimana yang diriwayatkan Mujahid, ia mengatakan: Saya telah belajar al-Quran kepada Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas), mulai Fatihah sampai khatam sebanyak tiga kali, dan dalam setiap ayat, saya tanyakan penafsiran ayat tersebut kepadanya, oleh karena inilah ats-Tsauri berkata. Jika anda mendapat keterangan tafsir dari Mujahid, maka itu sudah cukup dan peganglah, untuk ini tafsirnya dijadikan sebagai rujukan dan pegangan imam Syafii, Bukhari dan para ahli Ilmu lainnya. Begitu juga imam Ahmad dan lainnya dari orang yang mengarang tafsir, telah menetapkan sumber tafsir mereka lebih banyak bersumber dari Mujahid dibanding yang lain.


Spesifikasi di bidang Fiqh
Pertama kali Ibnu Taimiyah mengenal fiqh dari ayahnya, yang notabenenya bermadzhab Hambali tulen. Sehingga Interaksi Ibnu Taimiyah dalam masalah-masalah fiqh, itu tergambar ketika beliau memberikan fatwa tentang masalah-masalah besar, selalu merujuk madzhab imam Ahmad bin Hambal. Sungghuh fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat beliau tentang fiqh kebanyakan masalah-masalah yang disesuaikan dengan fatwa-fatwa dan madzhab imam empat atau madzhab imam umat islam dalam berijtihad. Sebagaimana dalam ijtihad dalam beberapa masalah dan fatwa selalu merujuk al-Qur'an, sunnah, ijma' dan qiyas.


Buah karya Ibnu Taimiyah
Dalam bidang penulisan buku dan karya ilmiah, beliau telah meninggalkan bagi umat Islam warisan yang besar dan bernilai. Tidak henti-hentinya para ulama dan para peneliti mengambil manfaat dari tulisan beliau. Sampai sekarang ini telah terkumpul berjilid-jilid buku, risalah (buku kecil), Fatawa dan berbagai Masail (pembahasan suatu masalah) dari beliau dan ini yang sudah dicetak. Sedangkan yang tersisa dari karya beliau yang masih belum diketahui atau tersimpan dalam bentuk manuskrip masih banyak sekali.
Beliau tidaklah membiarkan satu bidang ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagi umat dan mengabdi pada umat, kecuali beliau menulisnya dan berperan serta di dalamnya dengan penuh kesungguhan dan ketelitian. Hal seperti ini jarang sekali ditemui kecuali pada orang-orang yang jenius dan orang yang jenius adalah orang yang sangat langka dalam sejarah.
Teman dekat, guru, murid beliau bahkan musuh beliau, telah mengakui keluasan penelaahan dan ilmu beliau. Buktinya jika beliau berbicara tentang suatu ilmu atau cabang ilmu, maka orang yang mendengar menyangka bahwa beliau tidak mumpuni pada ilmu lain. Hal ini dikarenakan ketelitian dan pendalaman beliau terhadap ilmu tersebut. Jika seseorang meneliti tulisan dan karya beliau dan mengetahui amal beliau berupa jihad dengan menggunakan tangan dan lisan, dan pembelaan terhadap Islam serta mengetahui tentang ibadah dan dzikir beliau, maka sungguh dia akan sangat terkagum-kagum dengan keberkahan waktu dan kuatnya kesabaran beliau. Maha Suci Allah yang telah mengaruniakan pada beliau berbagai karunia tersebut.
Diantara karya-karyanya sebagai berikut; al-Hisbah wa Masuliyatul Hukumah al-Islamiyah, al-Ikhtiyaratul Fiqhiyat, Kitabul Imam, Kitab at-Tawasul wal Wasilah, Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Taymiyah, Majmu'atu Rasaili Kubro, al-Qawaidun Naraniyah, as-Siyasah asy-Syar'iyah fi Ishlahir Ra'i war-Ra'yah, dan lain sebagainya.


Penutup

Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah, telah pergi menemui Allah sejak tujuh ratus tahun lalu. Hidupnya dahulu dibaluti dengan perjuangan yang penuh ikhlas. Merupakan sebuah rahmat ketika para ulama memiliki pandangan yang berbeda, perbedaan pendapat atau pro-kontra di mata umat Islam, terlebih bukan pada esensi pendapatnya akan tetapi masuk pada diri tokoh tersebut. Dari sini penulis mengambil kesimpulan bahwa di tengah pro-kontra Ibnu Taimiyah memiliki kebesaran dan derajat tersendiri di tengah para ulama, generasi sepeninggalnya. Di mata penulis, Ibnu Taimiyah memiliki tiga keutamaan: pertama, Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang sangat tekun, disiplin dalam ijtihad, dan punya minat besar di bidang pengetahuan, disamping menjauhi kehidupan yang santai. Kedua, ia sangat terbuka dengan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, hidupnya tidak bersifat egois, terpaku hanya pada bidang pengetahuan saja. Ketiga, ia terkenal sebagai ulama yang punya kecerdasan luar biasa. Konsisten dalam berpikir dan produktif.
Terima kasih Syeikh Ibnu Taimiyah yang memberi setetes ilmu kepada kami, setetes dari Sheikh tidakpun dinamakan sebagai tetesan (al-Qalil minka la yuqol al-Qalil), tetapi bak samudera dan lautan.

Daftar Pustaka
www.google.co.id
Jindan, Khalid Ibrahim, (1995).“Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam”, Surabaya: Risalah Gusti
0 Responses

Posting Komentar