--------------------------------------------------------------------------------
Muqoddimah
Hukum-hukum yang berkaitan dengan safar (perjalanan) ialah mengkoshor shalat, menjama' shalat, menyapu sepatu saat wadhu' selama tiga hari,
berbuka di bulan Ramadhan, boleh tidak shalat jam'at dan sunnat 'ied, shalat di atas kendaraan dan tayammum.
Dalam kesempatan ini - insya Allah - akan dikemukakan lebih lanjut tentang ketentuan shalat dan shaum dalam safar, yang sekaligus menegaskan bahwa bahkan dalam keadaan safar (bepergian)pun Islam memberikan panduan agar umat selalu selamat dan sejahtera.
II. SHALAT DALAM SAFAR
Berkenaan dengan shalat, illah (sebab) adanya perjalanan membolehkan hal-hal berikut :
1. Mengqoshor (memendekkan) shalat:
a Pada dasarnya qoshor merupakan keringanan (rukhshoh) bagi orang yang bepergian (musafir), jika bukan untuk tujuan maksiat. Manyoritas ulama' berkesimupulan bahwa qoshor adalah afdhol. Sebagaimana sunnah dan kebiasaan Rasulullah SAW kemudian para shahabat beliau. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Rasulullah SAW katanya: " Aku sering menyertai Rasulullah SAW dan beliau menunaikan shalat yang asalnya empat rekaat menjadi dua rekaat, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Ustman Rasulullah SAW.
b Jarak perjalanan yang membolehkan qoshor adalah yang menurut ukuran urf di zamannya dan dikatagorikan safar atau bepergiaan/ melakukan perjalanan.
c Persyaratan teknis melaksanakan qoshor, dikemukakan fuqoha' sebagai berikut :
1. Bukan safar untuk maksiat, menurut mayoritas ulama'.
2. Mempunyai tujuan tempat tertentu dalam jarak qoshor
3. Telah keluar rumah dan wilayah dimana ia tinggal
4. Tidak berniat untuk tinggal menetap di tempat ia mengqoshor
5. Tidak menjadi makmun bagi imam yang tidak mengqoshor
6. Niat qoshor saat takbirotul ikhrom .
2. Menjama' (mengumpulkan) shalat
Menjama' shalat dhuhur dengan ashar atau naghrib dengan isya' dibolehkan dalam safar, baik dengan jama' taqdim (didahulukan) maupun jama' ta'khir (diakhirkan). Asal sudah berniat untuk safar boleh menjama' taqdim menjelang keberangkatan tanpa keluar rumah terlebih dahulu. Sedang untuk jama' ta'khir diharuskan berniat sejak tibanya waktu shalat pertama. Sesudah adzan untuk tiap shalat dilakukan iqomah (qomat) masing-masing. Dan antara kedua shalat yang dijama' tidak diselingi dengan shalat sunnat.
3. Menjama' dan mengqoshor shalat
Selain kedua hal diatas dan disebabkan oleh alasan-alasan yang sama, syari'at Islam juga membolehkan adanya jama' dan qoshor sekaligus, baik secara taqdim maupun ta'khir, yaitu dengan menjama' qoshor antara shalat dhuhur dengan ashar, masing-masing dua reka'at dan menjama' qoshor antara shalat maghrib (tetap 3 reka'at) dengan isya' dua rekaat.
4. Shalat di atas kendaraan
Jika tiba waktu shalat sedang di atas kendaraan dan tidak memungkinkan untuk berhenti dulu, maka boleh menunaikan shalat di atas kendaraan dengan tetap menghadap qiblat, minimal saat takbirotul ikhrom jika untuk sampai selesai shalat tidak memungkinkan. Dan jika sejak awal sudah tidak
memungkinkan menghadap qiblat, boleh menunaikannya sesuai dengan arah kendaraan. Dan boleh sambil duduk jika tidak memungkinkan
melaksanakannya sambil berdiri.
Diriwayatkan dari Maemun bin Mahron dari Ibnu Umar RA.katanya: " Aku bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana caranya shalat di atas kapal laut? jawab beliau : "Shalatlah berdiri kecuali jika dikhawatirkan akan tenggelam ( karena oleng). Riwayat ad Daraquthni menurut syarat Bukhori dan Muslim.Asy Syaukani berkomentar: Diqiyaskan atas khawatir tenggelam, adanya udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat.
B. SHAUM DALAM SAFAR
1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib,
seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho') di waktu lain.
Dalil syar'i yang mengaturnya; Al-Qur'an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: "... Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka
hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan... ".
2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama' adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa " Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan", dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah.
3. Dengan mempertimbangkan (mura'at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka:
> Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama' sesuai dengan taujih ayat : " .... Dan bahwa kamu
udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat.
B. SHAUM DALAM SAFAR
1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib,
seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho') di waktu lain.
Dalil syar'i yang mengaturnya; Al-Qur'an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: "... Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka
hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan... ".
2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama' adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa " Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan", dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah.
3. Dengan mempertimbangkan (mura'at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka:
> Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama' sesuai dengan taujih ayat : " .... Dan bahwa kamu
sekalian melaksanakan shaum adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai keutamaannya" ( QS:2:184)
> Shaum lebih baik walaupun terasa sedikit berat, jika untuk mengqodho'nya akan terasa berat. Demikian difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz.
> Shaum lebih utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat (masyaqqoh).
Dalam soal masyaqqoh, kecuali fisik yang harus dipertimbangkan, tapi kondisi ruhiyah atau kejiwaan lebih menentukan. Adalah para shahabat
Rasulullah SAW biasa tetap menjalani shaum walaupun dalam keadaan perang, tanpa merasakan adanya masyaqqoh yang berarti.
b. Berbuka lebih baik:
> Bagi orang yang kuat shaum tapi dikhawatirkan terganggu dengan rasa ujub (bangga) atau riya'.
Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar RA. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari shahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada
mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang shaum: " Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala".
> Demikian pula berbuka lebih baik bagi orang yang belum pernah mengambil rukhshoh (keringanan ini). Sebagaimana kesimpulan Asy
Syaukani tentang hadits riwayat Muslim dan an Nasa'i bahwa shahabat Hamzah bin Amr as Aslami berkata kepada Rasulullah SAW : ya Rasulullah
saya kuat menjalankan shaum dalam safar bolehkah saya lakukan ? jawab beliau : " Ini merupakan rukhshoh dari Allah ta'ala, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin shaum tidak apa-apa".
> Berbuka adalah afdhol bahkan shaum menjadi makruh, bagi yang memaksakan shaum diperjalanan yang terdapat masyaqqoh. Dalam kontek ini
Rasulullah SAW bersabda tentang musafir yang tetap shaum dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi orang banyak: " Tidak
merupakan kebaikan (al birr) as shaum dalam safar ". Demikian Imam Bukhori menyimpulkan.
> Bebrbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk mengadapi musuh dalam jihad.
> Bahkan berbuka menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad
4. Dalam kajian fiqhiyah, ulama' menyim-pulkan sejumlah persyaratan untuk mengambil rukhshoh ifthor (berbuka) dalam safar. Yaitu :
a. Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat
b. Perjalanan relatif jauh menurut ukuran zamannya
c. Tidak memulai perjalanan dalam keadaan shaum agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai.
d. Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir) kecuali jika terjadi masyaqqoh.
Para ulama' cenderung bahwa untuk pengamalan sendiri memilih yang afdhol dan yang ahwath (lebih berhati-hati) dari pilihan yang ada.
Wallahu ta'ala 'alam.
Muqoddimah
Hukum-hukum yang berkaitan dengan safar (perjalanan) ialah mengkoshor shalat, menjama' shalat, menyapu sepatu saat wadhu' selama tiga hari,
berbuka di bulan Ramadhan, boleh tidak shalat jam'at dan sunnat 'ied, shalat di atas kendaraan dan tayammum.
Dalam kesempatan ini - insya Allah - akan dikemukakan lebih lanjut tentang ketentuan shalat dan shaum dalam safar, yang sekaligus menegaskan bahwa bahkan dalam keadaan safar (bepergian)pun Islam memberikan panduan agar umat selalu selamat dan sejahtera.
II. SHALAT DALAM SAFAR
Berkenaan dengan shalat, illah (sebab) adanya perjalanan membolehkan hal-hal berikut :
1. Mengqoshor (memendekkan) shalat:
a Pada dasarnya qoshor merupakan keringanan (rukhshoh) bagi orang yang bepergian (musafir), jika bukan untuk tujuan maksiat. Manyoritas ulama' berkesimupulan bahwa qoshor adalah afdhol. Sebagaimana sunnah dan kebiasaan Rasulullah SAW kemudian para shahabat beliau. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Rasulullah SAW katanya: " Aku sering menyertai Rasulullah SAW dan beliau menunaikan shalat yang asalnya empat rekaat menjadi dua rekaat, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Ustman Rasulullah SAW.
b Jarak perjalanan yang membolehkan qoshor adalah yang menurut ukuran urf di zamannya dan dikatagorikan safar atau bepergiaan/ melakukan perjalanan.
c Persyaratan teknis melaksanakan qoshor, dikemukakan fuqoha' sebagai berikut :
1. Bukan safar untuk maksiat, menurut mayoritas ulama'.
2. Mempunyai tujuan tempat tertentu dalam jarak qoshor
3. Telah keluar rumah dan wilayah dimana ia tinggal
4. Tidak berniat untuk tinggal menetap di tempat ia mengqoshor
5. Tidak menjadi makmun bagi imam yang tidak mengqoshor
6. Niat qoshor saat takbirotul ikhrom .
2. Menjama' (mengumpulkan) shalat
Menjama' shalat dhuhur dengan ashar atau naghrib dengan isya' dibolehkan dalam safar, baik dengan jama' taqdim (didahulukan) maupun jama' ta'khir (diakhirkan). Asal sudah berniat untuk safar boleh menjama' taqdim menjelang keberangkatan tanpa keluar rumah terlebih dahulu. Sedang untuk jama' ta'khir diharuskan berniat sejak tibanya waktu shalat pertama. Sesudah adzan untuk tiap shalat dilakukan iqomah (qomat) masing-masing. Dan antara kedua shalat yang dijama' tidak diselingi dengan shalat sunnat.
3. Menjama' dan mengqoshor shalat
Selain kedua hal diatas dan disebabkan oleh alasan-alasan yang sama, syari'at Islam juga membolehkan adanya jama' dan qoshor sekaligus, baik secara taqdim maupun ta'khir, yaitu dengan menjama' qoshor antara shalat dhuhur dengan ashar, masing-masing dua reka'at dan menjama' qoshor antara shalat maghrib (tetap 3 reka'at) dengan isya' dua rekaat.
4. Shalat di atas kendaraan
Jika tiba waktu shalat sedang di atas kendaraan dan tidak memungkinkan untuk berhenti dulu, maka boleh menunaikan shalat di atas kendaraan dengan tetap menghadap qiblat, minimal saat takbirotul ikhrom jika untuk sampai selesai shalat tidak memungkinkan. Dan jika sejak awal sudah tidak
memungkinkan menghadap qiblat, boleh menunaikannya sesuai dengan arah kendaraan. Dan boleh sambil duduk jika tidak memungkinkan
melaksanakannya sambil berdiri.
Diriwayatkan dari Maemun bin Mahron dari Ibnu Umar RA.katanya: " Aku bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana caranya shalat di atas kapal laut? jawab beliau : "Shalatlah berdiri kecuali jika dikhawatirkan akan tenggelam ( karena oleng). Riwayat ad Daraquthni menurut syarat Bukhori dan Muslim.Asy Syaukani berkomentar: Diqiyaskan atas khawatir tenggelam, adanya udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat.
B. SHAUM DALAM SAFAR
1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib,
seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho') di waktu lain.
Dalil syar'i yang mengaturnya; Al-Qur'an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: "... Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka
hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan... ".
2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama' adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa " Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan", dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah.
3. Dengan mempertimbangkan (mura'at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka:
> Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama' sesuai dengan taujih ayat : " .... Dan bahwa kamu
udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat.
B. SHAUM DALAM SAFAR
1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib,
seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho') di waktu lain.
Dalil syar'i yang mengaturnya; Al-Qur'an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: "... Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka
hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan... ".
2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama' adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa " Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan", dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah.
3. Dengan mempertimbangkan (mura'at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka:
> Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama' sesuai dengan taujih ayat : " .... Dan bahwa kamu
sekalian melaksanakan shaum adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai keutamaannya" ( QS:2:184)
> Shaum lebih baik walaupun terasa sedikit berat, jika untuk mengqodho'nya akan terasa berat. Demikian difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz.
> Shaum lebih utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat (masyaqqoh).
Dalam soal masyaqqoh, kecuali fisik yang harus dipertimbangkan, tapi kondisi ruhiyah atau kejiwaan lebih menentukan. Adalah para shahabat
Rasulullah SAW biasa tetap menjalani shaum walaupun dalam keadaan perang, tanpa merasakan adanya masyaqqoh yang berarti.
b. Berbuka lebih baik:
> Bagi orang yang kuat shaum tapi dikhawatirkan terganggu dengan rasa ujub (bangga) atau riya'.
Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar RA. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari shahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada
mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang shaum: " Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala".
> Demikian pula berbuka lebih baik bagi orang yang belum pernah mengambil rukhshoh (keringanan ini). Sebagaimana kesimpulan Asy
Syaukani tentang hadits riwayat Muslim dan an Nasa'i bahwa shahabat Hamzah bin Amr as Aslami berkata kepada Rasulullah SAW : ya Rasulullah
saya kuat menjalankan shaum dalam safar bolehkah saya lakukan ? jawab beliau : " Ini merupakan rukhshoh dari Allah ta'ala, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin shaum tidak apa-apa".
> Berbuka adalah afdhol bahkan shaum menjadi makruh, bagi yang memaksakan shaum diperjalanan yang terdapat masyaqqoh. Dalam kontek ini
Rasulullah SAW bersabda tentang musafir yang tetap shaum dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi orang banyak: " Tidak
merupakan kebaikan (al birr) as shaum dalam safar ". Demikian Imam Bukhori menyimpulkan.
> Bebrbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk mengadapi musuh dalam jihad.
> Bahkan berbuka menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad
4. Dalam kajian fiqhiyah, ulama' menyim-pulkan sejumlah persyaratan untuk mengambil rukhshoh ifthor (berbuka) dalam safar. Yaitu :
a. Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat
b. Perjalanan relatif jauh menurut ukuran zamannya
c. Tidak memulai perjalanan dalam keadaan shaum agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai.
d. Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir) kecuali jika terjadi masyaqqoh.
Para ulama' cenderung bahwa untuk pengamalan sendiri memilih yang afdhol dan yang ahwath (lebih berhati-hati) dari pilihan yang ada.
Wallahu ta'ala 'alam.
Posting Komentar