MEMUDARNYA KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA,
AGAMA-AGAMA HARUS BERDIALOG
Oleh Budhy Munawar-Rachman
Belakangan ini banyak didiskusikan mengenai memudarnya kerukunan hidup beragama, dibandingkan sepuluh tahun lalu. Apalagi situasi tahun-tahun belakangan ini mengindikasikan suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang mulai kelihatan tidak toleran dalam hubungan antar umat beragama--lebih spesifik dalam hubungan Islam-Kristen dan sebaliknya, yang banyak diwarnai oleh sentimen, yang setidak-tidaknya dampaknya telah merusak kerukunan hidup beragama. Kenyataan faktual dewasa ini, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang mulai membenarkan intoleransi memang merupakan kenyataaan pahit yang kita rasakan bersama, yang harus kita terima dengan keterbukaan, agar dapat menjadi pemicu untuk membangun masa depan yang lebih baik mengenai hubungan antaragama: yang lebih terbuka dan demokratis.
Kita semua tahu, bahwa masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia belakangan ini sangat kompleks. Banyak kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut. Belum lagi agama dijadikan alat pemecah belah (disintegrasi), karena adanya konflik-konflik di tingkat elit dan militer. Konflik antaragama di Poso yang meledak beberapa waktu lalu, membuat kita sangat prihatin.
Adakah dasar teologis yang diperlukan untuk suatu basis kerukunan hidup beragama? Pertanyaan ini penting, karena selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis yang karena menyangkut masalah akidah (baca: kebenaran), tidaklah perlu dibicarakan--apalagi dicarikan titik temunya. Sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan menghasilkan masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global dan pasca-modern dewasa ini bersifat terbuka dan pluralistis.
Teologi Eksklusif atau Teologi Pluralis?
Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam buku-buku polemis maupun ilmiah. Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, masih menarik untuk diungkapkan di sini: Katanya, "Other religions are false paths, that mislead their followers" (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan Ajith Fernando yang dibahas dalam bukunya The Christian's Attitude toward World Religions (1987) ini memang sangat keras dan langsung tergambar eksklusivitasnya. Dan yang menjadikan kita kaget adalah kitab suci ternyata dianggapnya membenarkan hal tersebut. Ayat yang sering dikutip dari Alkitab: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14: 6), atau "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4:12).
Pandangan eksklusif memang bisa dilegitimasikan lewat kitab suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sejak Konsili Vatikan II, sudah jelaslah bahwa pandangan Gereja menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-Kristiani. Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifnya kira-kira dengan mengatakan. "Other religions are implicit forms of our own religion" (agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita).
Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep "ahl al-kitâb" (ahli kitab) yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-muslim, dan ini dibenarkan oleh al-Qur'an sendiri. Tetapi selalu saja ada interpretation away, sebuah cara penafsiran, yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, misalnya yang jelas-jelas mendukung keterbukaan terhadap keberadaan dan keselamatan agama-agama lain. Penafsiran eksklusif dalam Islam bisa muncul misalnya dalam pembacaan ayat berikut, "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam" (Q. 3: 19). Atau, "Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q. 3:85). Padahal kalau ayat ini dibaca dengan semangat inklusif, semangat agama universal (al-dîn al-jâmi`) dengan mengembalikan makna islâm di sini dalam arti generiknya sebagai "pasrah sepenuhnya (kepada Allah)", maka maknanya akan berbeda sekali: bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah agama yang membawa kepasrahan kepada-Nya. Dan barangsiapa yang mencari agama selain dari kepasrahan kepada-Nya, maka agama itu tidak akan diterima, dan ia di akhirat termasuk orang yang merugi.
Mengenai masalah keselamatan dalam agama-agama non-Islam, menarik memperhatikan ayat al-Qur'an berikut (Q. 2:62 juga 5:69), "Mereka yang beriman (kepada al-Qur'an), orang Yahudi, Kristiani, dan Sabi`in, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan melakukan kebaikan, pahala mereka ada pada Tuhan, mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih." Ayat ini secara literal sangat jelas meneguhkan mengenai adanya keselamatan dalam agama-agama. Tetapi anehnya, mayoritas komentator muslim dengan sia-sia telah berusaha untuk tidak menerima maksud yang jelas dinyatakan kedua ayat tersebut, bahwa keselamatan seseorang di akhirat sebenarnya hanya tergantung pada tiga hal: (1) apakah ia percaya kepada Allah, (2) apakah ia percaya pada hari akhirat (adanya pembalasan atas perbuatan baik dan buruk), dan (3) apakah ia melakukan perbuatan kebaikan kepada sesama umat manusia. Jadi bukan pada apa agama formalnya!
Pada umumnya penafsir al-Qur'an sepanjang sejarah banyak yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi`in dalam ayat ini adalah mereka yang telah masuk Islam. Penafsiran yang jelas sekali salah, karena mereka dalam ayat tersebut ditaruh dalam rangkaian dengan kaum Muslim. Ada juga pendapat lain bahwa yang dimaksudkan dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi`in itu adalah mereka yang saleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Penafsiran ini jelas lebih salah lagi!
Begitulah, kita baik kaum Muslim maupun umat Kristiani telah mewarisi begitu mendalam teologi eksklusif itu: yang rumusan inti ajarannya adalah--seperti ditulis oleh filsuf agama terkemuka Alvin Plantinga dalam buku Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama --"the tenets of one religions are in fact true; any propositions that are incompatible with these tenets are false" atau Joh Hick, "The exclusivists think that their description of God is the true description and the others are mistaken insofar they differ from it." Karena pandangan tersebut, maka mereka menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri! Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik.
Oleh karena itulah diperlukan suatu perspektif baru dalam melihat "Apa yang dipikirkan oleh suatu agama, mengenai agama lain dibandingkan dengan agama sendiri?" Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah seorang beragama itu menganut suatu teologi yang eksklusif, inklusif atau pluralis. Apakah ia seorang yang terbuka atau otoriter?
Menganut suatu teologi eksklusif dalam beragama bukan hal yang sulit. Karena secara umum, sepanjang sejarah sebenarnya cukup umum tekanan-tekanan untuk beragama secara eksklusif. Kalau batasnya adalah Konsili Vatikan II, maka baru sejak 1963-1965 lah secara resmi ada usaha-usaha global untuk memulai perkembangan teologi ke arah yang inklusif. Dan baru belakangan ini saja berkembang teologi yang lebih pluralis--yang lebih menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam agama-agama— yang dapat lebih digali lewat kajian teologi agama-agama.
Dewasa ini penerimaan atas pluralisme tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah bangsa yang majemuk dari segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka kita sebenarnya berangkat dari kenyataan sosial yang terfragmentasi (terpecah-pecah)--yang karena itu diperlukan pluralisme sebagai cara untuk menghindari kefanatikan, jadi fungsinya hanya sebagai a negative good. Padahal kebutuhan sekarang bukan hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah paham pluralisme itu itu dibangun karena begitulah faktanya mengenai kebenaran, bukan hanya karena fakta sosialnya! Pluralisme adalah bagian dari--seperti sering dikatakan Prof Dr Nurcholish Madjid-- "pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Nah, persis sejalan dengan kebutuhan itu, teologi agama-agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu masuk dalam dialog antar agama, yang di dalamnya akan didalami bersama partner dialog, "a new depths of understanding of God's saving ways". Di sini teologi agama-agama akan mempersiapkan komunitas beragama dalam kepemimpinan teologis dalam memasuki dialog antar-agama itu. Ini penting sebab sekarang diyakini diktum: Those who know only their own religion, know none. Those who are not decisively committed to one faith, know no others. To be religious today is to be interreligious! Jika diktum ini sudah diterima, akan lebih mudahlah memasuki dialog antar-agama, dan selanjutnya segi teologisnya, yang dari sini pemerkayaan iman akan sangat dimungkinkan. Usaha-usaha besar pencarian "etika global" dari agama-agama yang populer sejak Sidang Parlemen Agama-agama (1993), menurut saya akan jauh lebih mendasar jika berangkat dari dialog teologis, yang meneguhkan sikap paralelisme itu --yang mengekspresikan adanya kesadaran "Satu Tuhan, dalam banyak jalan"
Pemimpin Sufi seperti Jalal al-Din Rumi, misalnya, melukiskan pandangan pluralisnya dengan menggunakan gambaran berikut, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka`bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Dalam semangat paralelisme, titik temu, bahkan kesatuan inilah kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama-agama ini perlu dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya. Maka isi yang bernilai dari agama-agama itu harus disharekan, dan dikomunikasikan.
Agama-agama harus berdialog. Ibaratnya, kalau saya mengenal Anda, bahwa Anda sungguh-sungguh berbeda dari saya, dan jika saya juga mengenali bahwa apa yang berbeda itu dapat juga benar dan bernilai sekaligus, saya pasti tidak akan bisa melupakan Anda! Begitu jugalah dengan dunia agama-agama. "Other religions are not only genuinely different, they can also be genuinely valuable"
Budhy Munawar-Rachman
Pengajar filsafat pada Universitas Paramadina, Jakarta
Buku: Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Media : Republika , 25 Januari 1998
Buku: Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Media: Kompas , 1 Februari 1998
Buku: Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Media: Ummat , 2 Februari 1998
Pluralisme: Rahmat atau Laknat?
Di saat konflik horisontal merebak di berbagai wilayah negeri ini, kata damai dan perdamaian memang terasa sangat indah. Di mana-mana orang berbicara dan meneriakkan keinginan untuk mewujudkan perdamaian. Bahkan TNI, lembaga yang selama ini anggotanya dikenal kerap melakukan tindak kekerasan dan melanggar HAM, tak mau ketinggalan menyuarakan seruan damai, seperti nampak dari berbagai spanduk yang berbunyi, "Damai itu indah" di berbagai markas dan kantornya di Jakarta.
Sebagai sebuah bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta sangat beragam (plural), Indonesia memang memiliki risiko konflik dan perpecahan yang cukup besar. Karenanya sangat wajar apabila ada sejumlah pihak tak bosan-bosannya berupaya merukunkan berbagai elemen masyarakat yang selama ini terjebak konflik, termasuk konflik antar ummat beragama di Maluku, Poso, dan wilayah lainnya.
Upaya itu dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat beragama yang sudah diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada juga apel keagamaan, seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK) Universitas Dr Soetomo Surabaya. Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan Antarumat Beragama' itu menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali Maschan Moesa, MSi (Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I Made Gunartha (Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan kalangan LSM dan mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu Selamat Datang (HI) Jakarta dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.
Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir, rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu akhirnya ditiadakan.
Selesai? Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini berganti nama menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para cendekiawan dari berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm) Harun Nasution, Nucholish Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan yang meminjam istilah kalangan ini bercorak Neo-Modernisme terus ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan di media massa dan forum-forum ilmiah.
Ada berbagai gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an kemudian muncul gagasan Islam Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam Liberal.
Maret tahun ini Penerbit Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam Pluralis, yang merupakan kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman. Kemudian tengah bulan silam penerbit yang sama meluncurkan buku berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir ini merupakan kumpulan tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional yang disunting oleh Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North Carolina. Di penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra Muzaffar, Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto, Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.
Inklusif dan Pluralis
Di antara berbagai wacana itu, yang paling gencar disosialisasikan adalah wacana Islam Inklusif. Karena kalangan tersebut menganggap banyak ummat beragama ¬terutama yang sering disorot kalangan Muslim bersikap eksklusif. Apa maksudnya? Menurut salah seorang aktivis kalangan ini, Sukidi, seseorang tergolong eksklusif manakala merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama-agama lain dituduh sesat. Mereka yang eksklusif, masih kata Sukidi, cenderung memonopoli kebenaran agama (claim of truth) dan paham keselamatan (claim of salvation).
Sikap seperti itu, menurut Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Budhy Munawar Rachman, membuat berbagai konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar-agama.
Senada dengan hal itu, Jabir Al Faruqi, Direktur Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP) Semarang, dengan mengutip pendapat ilmuwan Barat Paul Knitter, menulis di harian Kompas (13/6/1997), "Semua agama pada dasarnya adalah relatif. Karena itu sekarang ini sikap menganggap sebuah agama lebih baik dari yang lain dirasa sebagai sebuah sikap yang agak salah dan ofensif."
Budhy juga mengecam orang-orang yang meyakini bahwa hanya ada satu jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri. "Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis dan otoriter!!!" tulisnya di Republika (24/06/2000).
Budhy kemudian mengajak orang menuju suatu teologi yang disebutnya teologi pluralis. Yakni, melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same thruth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid thruts (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengespresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Benang merahnya, teologi pluralis mengajak orang menuju sikap pararelisme terhadap berbagai agama, dengan menganggap semua agama sama sahihnya sebagai jalan menuju kebenaran. "Satu Tuhan, dalam banyak jalan," ungkap Budhy.
Untuk menopang pendapatnya itu Budhy tak lupa mengutip pendapat ahli sufi, Jalaluddin Rumi yang menyatakan, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka'bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Masih ada sejumlah pemikir yang mempunyai pandangan senada dengan Budhy. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman Wahid, yang baru saja dimakzulkan dari kursi kepresidenan RI oleh MPR. Ketika baru terpilih jadi presiden, dalam kunjungannya di Bali ia mengungkapkan, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar."
Sebagian pemikir Islam nampaknya terkagum-kagum dengan hasil Konsili Vatikan II (1965) yang dihasilkan kalangan Katolik. Dalam konsili memang terdapat pandangan yang mengakui adanya jalan keselamatan dalam agama-agama non-Kristen. Lalu para pemikir itu menghendaki kalangan Islam juga menghasilkan pandangan seperti itu melalui wacana pluralisme.
Sinkretisme
Berbagai gagasan itu menurut Sekretaris Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Adian Husaini, sebenarnya hanyalah gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah. Karena pluralisme pada hakekatnya sama dengan sinkretisme, paham yang mencampurkan ajaran satu agama dengan agama lainnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada sejumlah pemikir dan pengamat yang entah sengaja atau tidak kerap merancukan makna antara pluralitas dan pluralisme. Memang keduanya berasal dari akar kata yang sama: plural, yang artinya majemuk atau beragam. Namun setelah menjadi kata jadian, pluralitas berbeda dengan pluralisme.
Pluralitas yang berarti kemajemukan adalah fakta kehidupan dan merupakan kehendak Allah, misalnya tentang kemajemukan bangsa dan suku sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49) ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." Juga pada surat Ar-Ruum (30), "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berain-lainan bahasamu dan warna kulitmu"
Allah juga menciptakan kemajemukan ummat, meski Ia mampu menciptakan satu ummat manusia saja, agar tiap-tiap mereka berlomba menuju kebaikan. Bahkan hal itulah yang menjadi tujuan-Nya mencipta manusia, sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 118-119: "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka."; dan pada surat Al-Maidah (5) ayat 48, "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan"
Jadi pluralitas atau kemajemukan adalah realitas dan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Terhadap kenyataan itu Rasulullah Muhammad saw, para sahabat dan pengikutnya telah menunjukkan pada dunia tentang bagaimana cara hidup dan bergaul di tengah masyarakat yang majemuk.
Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, masyarakat negeri itu tidak homogen, melainkan terdiri dan beragam bangsa (Arab dan Bani Israel), suku (Aus, Khajraj, Quraisy dll), kelompok (Muhajirin dan Anshar) dan agama (Islam, Yahudi dan paganis). Untuk menggalang persatuan di antara mereka, termasuk dengan kelompok Yahudi, Rasulullah kemudian mengadakan perjanjian persatuan dan kerjasama seperti yang tertuang dalam Piagam Madinah.
Salah satu pasalnya berbunyi: "Kaum Mukminin dan kaum Muslimin, dari Quraisy dan penduduk Yatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, maka bergabung dengan mereka dan berjuang bersama-sama. Mereka ummat yang satu yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain Orang-orang Yahudi adalah satu ummat bersama kaum Mukminin. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka."
Dalam berbagai buku sejarah Islam dapat jelas terbaca bahwa Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah sangat biasa bergaul dan bermuamalah dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan secara damai. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Nabi Muhammad pernah berhutang pada orang Yahudi. Dan hadits lain diriwayatkan Nabi pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, hingga tersentuh hatinya lalu masuk Islam. Konflik baru terjadi ketika orang-orang Yahudi melakukan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah dalam perang Khandaq, sehingga diusir keluar dari Madinah.
Ketika Dinasti Umayyah (etnis Arab) berkuasa lima abad di Andalusia (Spanyol), di negeri itu tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi, hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi. Tapi ketika negeri itu berhasil ditaklukkan kembali oleh Kerajaan Spanyol yang Katolik, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang Muslim dan orang Yahudi oleh pasukan Kerajaan Spanyol.
Artinya, ummat Islam jika benar-benar memahami ajaran agamanya ¬tanpa dikuliahi teori-teori Barat pasti mereka akan dapat mengembangkan sikap toleran, bersahabat terhadap kalangan non-Muslim. Dalam menjalankan hubungan sosial yang bersifat muamalah, ummat Islam akan bersikap inklusif. Tetapi jika sudah menyangkut masalah keimanan dan akidah tidak ada kompromi dan konvergensi.
Namun bagi kalangan pengusung gagasan pluralisme, sikap inklusif seperti itu dianggap tidak memadai. Harus ada upaya konvergensi, seperti yang diharap Sukidi, "Mengingat pluralisme agama merupakan sunnatullah (kehendak Tuhan), maka sangat urgen sekali adanya konvergensi agama-agama, yaitu usaha mencari titik temu agama-agama Jadi meskipun secara eksoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik, semuanya bermuara pada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa."
Pandangan seperti itu ditentang keras oleh Daud Rasyid Sitorus, staf pengajar LIPIA Jakarta yang pernah berpolemik dengan Nucholish Madjid. Menurutnya, ajaran Islam mengakui adanya pluralitas, tapi tidak membenarkan pluralisme. "Masyarakat yang beragam diakui dalam Al-Quran, tapi Islam tegas mengatakan bahwa tidak semua agama itu benar. Karena tidak mungkin orang menganut suatu agama kalau dia tidak meyakini agamanya yang paling benar."
Lebih lanjut Daud menjelaskan, Islam tidak melarang ummatnya berhubungan sosial dengan ummat lain dalam konteks bermuamalah. Tapi jika sudah menyangkut aqidah dan ibadah, tidak ada kompromi. "Kita boleh bergaul dan menghormati orang beragama lain, tapi jangan sampai mengakui semua agama benar. Dalam riwayat Nabi pernah bermuamalah dengan orang Yahudi, tapi dalam hal aqidah tidak ada kompromi."
Upaya menggebu-gebu kalangan pemikir Islam dalam mengkampanyekan pluralisme dan konvergensi agama patut diberi tanda tanya. Sebab ujung-ujungnya mengajak untuk kompromi aqidah, dengan turut memberi pembenaran kepada ajaran agama lain. Padahal pemikir Kristen yang juga gencar menyuarakan pluralisme dan dialog antar ummat beragama, seperti mendiang pendeta Victor Tanja, tidak berfikir sampai sejauh itu. "Dalam setiap agama para pemeluknya menyembah Tuhan YME menurut pandangan agama masing-masing. Kejelasan ini perlu dipegang untuk menghindari kompromi aqidah," tulisnya di Republika.
Victor dengan mengutip pendapat seorang uskup gereja Ortodok Syria, juga memberi contoh hubungan antar ummat beragama yang proporsional dan tidak kebablasan, "Tujuan kemitraan bukan untuk membentuk satu agama dunia dengan memperpadukan semua agama. Menurut dia ini adalah usaha sia-sia. Tujuan sebenarnya adalah untuk mencari suatu landasan bersama yang di atasnya semua budaya dunia dapat saling bertemu dalam suasana saling menghormati, serta dapat hidup dalam kepelbagaian agama-agama secara global tanpa kehilangan identitas masing-masing."
Bicara tentang kompromi aqidah dan ibadah akan mengingatkan kita pada suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan dalam Al-Quran. Alkisah para pemuka kafir Quraisy tiba pada suatu kondisi merasa tak mampu lagi membendung upaya da'wah yang dilakukan Nabi Muahammad dan menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme (menyembah berhala) yang mereka anut akan tersingkir oleh risalah Islam, maka kemudian mereka mendatangi Nabi dan menawarkan kompromi.
Mereka mengajak kedua belah pihak saling mengakui kebenaran kepercayaan keduanya Islam dan paganismelalu kedua belah pihak melakukan ibadah bersama secara bergantian. Caranya, hari ini kedua belah pihak melakukan ibadah Islam, keesokan harinya kedua belah pihak melakukan ibadah penyembahan berhala.
Tawaran kompromi aqidah dan ibadah ini ditolak mentah-mentah oleh Allah dan rasul-Nya. Allah kemudian mengutus malaikat Jibril menurunkan surat Al-Kafirun, yang mengajarkan ummat Islam untuk menolak segala bentuk kompromi aqidah dan ibadah dengan orang kafir.
Ayat 2 surat tersebut berbunyi, "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah." Larangan menyembah apa yang disembah orang kafir, mengandung arti larangan membenarkan kepercayaan mereka dan larangan mempercayai bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal konsep orang Muslim dan orang kafir. Bagi orang kafir tidak ada jalan keselamatan untuk mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam.
Kalau kalangan pengusung pluralisme mengakui kebenaran dan adanya jalan keselamatan bagi kalangan non-Muslim, lantas menurut mereka, siapakah yang Allah maksud dengan orang kafir yang Dia janjikan masuk neraka jahannam?
Wallahu a'lam bish-shawab.• (shw, dek)
Inklusif
Polemik negara Islam yang tiba-tiba meletus di Malaysia adalah suatu yang pasti berlaku. Kalau tidak sekarang ia akan datang pada masa depan. Lebih awal umat Islam, khususnya golongan intelektual muslim, menanganinya adalah lebih baik.
Di Malaysia hari ini polemik ini seperti dipaksakan oleh DAP. Kalau begitu latah DAP tentang negara Islam punya peran positif, ia mengejutkan umat dari ngantuk intelektualnya. Kerana isu ini di bangkitkan oleh rakan maka kita harus menangani dengan bijaksana.
Kita katakan rakan bukan sekadar Pas dan DAP sama-sama dalam BA tetapi kerana kesemuanya secara ikhlas berkongsi dalam matlamat besar dalam perjuangan politik: untuk menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan bersuara dan akhbar, kebebasan institusi kehakiman, membanteras rasuah, nepotisme dan kronisme dan sebagainya.
Tetapi ini tidak bermakna dalam masyarakat di mana umat Islam merupakan majoriti besar dari penduduk polemik ini tidak boleh berlaku. Ia juga boleh berlaku antara golongan berbeda dalam umat.
Di zaman di mana perjuangan politik ditandai oleh persengketaan ideologi maka kumpulan-kumpulan politik duduk di bawah bendera ideologi masing-masing. Ada kumpulan nasionalis, kumpulan sosialis dan perjuangan politik yang berasaskan Islam menamakan diri mereka sebagai Islamis dan negara Islam selalu dijadikan slogan perjuangan.
Slogan di sini bukan dalam erti kata murahan, tetapi sebagai satu formula yang mereka yakini, di mana perlaksanaannya akan menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial.
Tetapi sejak dua dekad yang lalu perjuangan politik tidak lagi dipengaruhi oleh persengketaan ideologi. Kecuali kumpulan-kumpulan kecil, selalunya intelektual, persaingan politik adalah lebih bersifat programmatik. Parti manakah yang boleh mengemukakan program ekonomi dan sosial yang paling lumayan untuk rakyat.
Sejak tahun-tahun 1970an program dan dasar-dasar ekonomi sosialis di seluruh dunia - Soviet Russia, China, India, Eropah Timur - telah menunjukkan kegagalannya. Yang dimaksudkan dengan dasar-dasar ekonomi sosialis adalah di mana keputusan apa yang perlu dikeluarkan oleh negara ditentukan oleh negara melalui perancangan pusat, sementara dalam dasar ekonomi bebas keputusan tersebut ditentukan oleh individu dan syarikat menurut permintaan dan penawaran dalam pasaran.
Tetapi pembahagian antara sosialis-kapitalis bukanlah mutlak. Negara-negara yang disebut sebagai negara kapitalis iaitu negara-negara Eropah Barat dan Amerika Syarikat turut melaksanakan program yang bersifat sosialis atau sering disebut sebagai ÒinterventionistÓ atau dalam istilah Perancisnya "dirigisme".
Meskipun dalam negara negara ini keputusan apa yang hendak dikeluarkan tentukan oleh individu dan syarikat mengikut permintaan dan penawaran dalam pasaran masih mendominasi keseluruhan ekonomi tetapi kehadiran aspek "interventionist" atau "dirigisme" yang agak besar melembabkan pertumbuhan.
Sejak tahun 70an telah jelas kelihatan negara-negara yang mengamalkan sistem sosial jauh tinggal ke belakang dari segi ekonomi - di samping aspek politik kediktatoran dan tekanan terhadap kebebasan yang menggerunkan - dan pada ketika yang sama aspek-aspek sosialis - "interventionist" atau "dirigisme" - dalam negara yang mengamalkan system pasaran menjadi punca kepada kelembaban ekonomi dan kadar cukai yang tinggi.
Maka visi sosialis semakin hilang tarikannya. Dan dalam negara yang mengamalkan ekonomi bebas aspek "interventionist" atau "dirigisme" semakin tidak popular.
Pemberontakan terhadap aspek-aspek sosialis dalam system ekonomi bebas mencapai kemuncaknya di kemenangan Margaret Thatcher dalam Parti Konservatif di UK dalam tahun 1982 dan kemenangan Ronald Reagan di AS dalam tahun.
Pemberontakan terhadap visi sosialis menjadi satu batu tanda sejarah dengan runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan Jerman, jatuhnya rejim komunis-sosialis Eropah Timur dalam tahun 1989 dan akhirnya berkecainya Kesatuan Soviet Russia.
Maka sejak revolusi Thatcher-Reagan berlaku anjakan ke kanan, kemenangan politik kepada parti-parti politik yang menawarkan dasar-dasar pro pasaran termasuk di negara yang mempunyai tradisi kiri yang kuat iaitu Peranchis dengan kemenangan Chirac yang mewakili parti RPR yang berhaluan kanan sebagai Presiden.
Tetapi kemenangan aliran politik kanan bukan bermakna roda sejarah berhenti. Cabaran dan masalah politik baru muncul dan ternyata parti-parti politik beraliran kanan di Barat dapat memberikan segala penyele-saian yang memuaskan.
Sejak Reagan Parti Republikan di AS yang berhaluan kanan menguasai kerusi presiden selama tiga penggal berturut-turut, Reagan selama dua penggal dan Bush (bapa) satu penggal. Percubaan Bush (bapa) untuk dipilih untuk penggal kedua menunjukkan aliran kanan telah kehilangan kuasa pukaunya.
Begitu juga di UK. Parti Konservatif yang beraliran kanan berkuasa selama 18 tahun akhirnya tewas juga kepada parti Buruh yang dahulunya beraliran kiri. Di Jerman parti Christian Democratic Union yang beraliran kanan di tewaskan oleh Social Democratic Party yang beraliran kiri.
Tetapi adakah ini bermakna kebangkitan semua aliran kiri atau sosialis? Tidak benar sama sekali. Sejak robohnya Tembok Berlin dan leburnya Kesatuan Soviet parti-parti yang beraliran kiri berusaha mencipta semula imej mereka.
Mereka tidak lagi menekankan ideologi sebaliknya berusaha mencerminkan mereka sebagai parti politik yang peka dengan kehendak rakyat dari segi ekonomi, peluang pekerjaan, pelaburan untuk menjadikan ekonomi mereka lebih berdaya saing, mengurangkan beban cukai dan sebagainya.
Di UK Parti Buruh menggunakan slogan "New Labour" untuk memisahkan perjuangan parti tersebut perjuangan sosialis sebelumnya. Maka apabila parti tersebut menang ia melaksanakan dasar-dasar yang pro pasaran dan pro-perniagaan seperti dasar-dasar Parti Konservatif.
Apakah relevannya semua ini dengan isu negara Islam. Ia sungguh relevan kerana sebagaimana yang berlaku di Barat umat Islam juga berubah. Pemikiran umat berubah, generasi baru yang berpendidikan muncul dan cara mereka menanggapi isu berbeda generasi sebelumnya.
Ini tidak bermakna komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam berkurangan dari generasi sebelumnya. Bahkan mereka mahu melihat perlaksanaan Islam sebagai yang bersifat isi - dalam bentuk program Ñ dan bukan sekadar bersifat simbol atau retorika.
Dan lebih dari itu dalam konteks masyarakat majmuk, masyarakat pelbagai agama dan pelbagai bangsa pengungkapan program Islam itu harus bersifat inklusif, iaitu program yang boleh dilaksanakan secara sama antara yang Islam dan bukan Islam dan dengan pengggunaan bahasa dan pengungkapan yang boleh diterima dan menawan hati semua sektor masyarakat.
Perjuangan yang bersifat isi dan program seharusnya merujuk kepada persoalan dan keme-lut yang dihadapi oleh masyarakat. Apakah bentuk kebejatan, kezaliman dan kekurangan dalam masyarakat yang harus diatasi.
Telah ada muafakat dalam masyarakat, baik yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam tentang krisis besar yang dihadapi oleh negara. Isu demokrasi, hak asasi, kebebasan kehakiman, pembenterasan rasuah adalah bersifat isu.
Masalah ini dikongsi bersama oleh yang Islam dan bukan Islam sebagai rakyat Malaysia. Inilah yang disepakati dan menjadi isu prioriti. Semua ini adalah isu-isu masyarakat madani. Adakah isu ini bersifat Islam. Sudah tentu. Tetapi isu ini juga bersifat universal dan dikongsi mereka yang berlainan agama.
Sebagaimana kita tidak boleh lagi melihat pertentangan politik di Barat dalam bentuk konflik ideologi sosialisme-kapitalisme, maka tidak juga boleh melihat perjuangan politik di Malaysia dalam kerangka pertentangan antara kumpulan Islam dan kumpulan sekularis. Maka pengucapan dasar per-juangan harus mencerminkan realiti politik ini.
Lebih banyak persamaan antara Pas dengan DAP dari segi isu-isu besar yang diperjuangkan meskipun kedua-dua parti dari segi falsafah rasminya mempunyai falsafah perjuangan yang berbeda antara bumi dengan langit, daripada persamaan antara Pas dan Umno meskipun anggota kedua-dua parti adalah sama agama dan mempunyai falsafah hidup yang sama.
Berdasarkan kesamaan isu-isu yang diperjuangkan maka pengungkapan perjuangan tersebut haruslah bersifat inklusif agar sasaran yang bersifat majmuk dapat menerimanya.
Sekiranya pengungkapan perjuangan menggunakan istilah atau bahasa yang bersifat eksklusif (misalnya Islam di mana mereka yang bukan Islam merasakan mereka terkeluar) maka keberkesanannya pada sasaran yang bersifat majmuk adalah terbatas
Inklusif
Polemik negara Islam yang tiba-tiba meletus di Malaysia adalah suatu yang pasti berlaku. Kalau tidak sekarang ia akan datang pada masa depan. Lebih awal umat Islam, khususnya golongan intelektual muslim, menanganinya adalah lebih baik.
Di Malaysia hari ini polemik ini seperti dipaksakan oleh DAP. Kalau begitu latah DAP tentang negara Islam punya peran positif, ia mengejutkan umat dari ngantuk intelektualnya. Kerana isu ini di bangkitkan oleh rakan maka kita harus menangani dengan bijaksana.
Kita katakan rakan bukan sekadar Pas dan DAP sama-sama dalam BA tetapi kerana kesemuanya secara ikhlas berkongsi dalam matlamat besar dalam perjuangan politik: untuk menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan bersuara dan akhbar, kebebasan institusi kehakiman, membanteras rasuah, nepotisme dan kronisme dan sebagainya.
Tetapi ini tidak bermakna dalam masyarakat di mana umat Islam merupakan majoriti besar dari penduduk polemik ini tidak boleh berlaku. Ia juga boleh berlaku antara golongan berbeda dalam umat.
Di zaman di mana perjuangan politik ditandai oleh persengketaan ideologi maka kumpulan-kumpulan politik duduk di bawah bendera ideologi masing-masing. Ada kumpulan nasionalis, kumpulan sosialis dan perjuangan politik yang berasaskan Islam menamakan diri mereka sebagai Islamis dan negara Islam selalu dijadikan slogan perjuangan.
Slogan di sini bukan dalam erti kata murahan, tetapi sebagai satu formula yang mereka yakini, di mana perlaksanaannya akan menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial.
Tetapi sejak dua dekad yang lalu perjuangan politik tidak lagi dipengaruhi oleh persengketaan ideologi. Kecuali kumpulan-kumpulan kecil, selalunya intelektual, persaingan politik adalah lebih bersifat programmatik. Parti manakah yang boleh mengemukakan program ekonomi dan sosial yang paling lumayan untuk rakyat.
Sejak tahun-tahun 1970an program dan dasar-dasar ekonomi sosialis di seluruh dunia - Soviet Russia, China, India, Eropah Timur - telah menunjukkan kegagalannya. Yang dimaksudkan dengan dasar-dasar ekonomi sosialis adalah di mana keputusan apa yang perlu dikeluarkan oleh negara ditentukan oleh negara melalui perancangan pusat, sementara dalam dasar ekonomi bebas keputusan tersebut ditentukan oleh individu dan syarikat menurut permintaan dan penawaran dalam pasaran.
Tetapi pembahagian antara sosialis-kapitalis bukanlah mutlak. Negara-negara yang disebut sebagai negara kapitalis iaitu negara-negara Eropah Barat dan Amerika Syarikat turut melaksanakan program yang bersifat sosialis atau sering disebut sebagai ÒinterventionistÓ atau dalam istilah Perancisnya "dirigisme".
Meskipun dalam negara negara ini keputusan apa yang hendak dikeluarkan tentukan oleh individu dan syarikat mengikut permintaan dan penawaran dalam pasaran masih mendominasi keseluruhan ekonomi tetapi kehadiran aspek "interventionist" atau "dirigisme" yang agak besar melembabkan pertumbuhan.
Sejak tahun 70an telah jelas kelihatan negara-negara yang mengamalkan sistem sosial jauh tinggal ke belakang dari segi ekonomi - di samping aspek politik kediktatoran dan tekanan terhadap kebebasan yang menggerunkan - dan pada ketika yang sama aspek-aspek sosialis - "interventionist" atau "dirigisme" - dalam negara yang mengamalkan system pasaran menjadi punca kepada kelembaban ekonomi dan kadar cukai yang tinggi.
Maka visi sosialis semakin hilang tarikannya. Dan dalam negara yang mengamalkan ekonomi bebas aspek "interventionist" atau "dirigisme" semakin tidak popular.
Pemberontakan terhadap aspek-aspek sosialis dalam system ekonomi bebas mencapai kemuncaknya di kemenangan Margaret Thatcher dalam Parti Konservatif di UK dalam tahun 1982 dan kemenangan Ronald Reagan di AS dalam tahun.
Pemberontakan terhadap visi sosialis menjadi satu batu tanda sejarah dengan runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan Jerman, jatuhnya rejim komunis-sosialis Eropah Timur dalam tahun 1989 dan akhirnya berkecainya Kesatuan Soviet Russia.
Maka sejak revolusi Thatcher-Reagan berlaku anjakan ke kanan, kemenangan politik kepada parti-parti politik yang menawarkan dasar-dasar pro pasaran termasuk di negara yang mempunyai tradisi kiri yang kuat iaitu Peranchis dengan kemenangan Chirac yang mewakili parti RPR yang berhaluan kanan sebagai Presiden.
Tetapi kemenangan aliran politik kanan bukan bermakna roda sejarah berhenti. Cabaran dan masalah politik baru muncul dan ternyata parti-parti politik beraliran kanan di Barat dapat memberikan segala penyele-saian yang memuaskan.
Sejak Reagan Parti Republikan di AS yang berhaluan kanan menguasai kerusi presiden selama tiga penggal berturut-turut, Reagan selama dua penggal dan Bush (bapa) satu penggal. Percubaan Bush (bapa) untuk dipilih untuk penggal kedua menunjukkan aliran kanan telah kehilangan kuasa pukaunya.
Begitu juga di UK. Parti Konservatif yang beraliran kanan berkuasa selama 18 tahun akhirnya tewas juga kepada parti Buruh yang dahulunya beraliran kiri. Di Jerman parti Christian Democratic Union yang beraliran kanan di tewaskan oleh Social Democratic Party yang beraliran kiri.
Tetapi adakah ini bermakna kebangkitan semua aliran kiri atau sosialis? Tidak benar sama sekali. Sejak robohnya Tembok Berlin dan leburnya Kesatuan Soviet parti-parti yang beraliran kiri berusaha mencipta semula imej mereka.
Mereka tidak lagi menekankan ideologi sebaliknya berusaha mencerminkan mereka sebagai parti politik yang peka dengan kehendak rakyat dari segi ekonomi, peluang pekerjaan, pelaburan untuk menjadikan ekonomi mereka lebih berdaya saing, mengurangkan beban cukai dan sebagainya.
Di UK Parti Buruh menggunakan slogan "New Labour" untuk memisahkan perjuangan parti tersebut perjuangan sosialis sebelumnya. Maka apabila parti tersebut menang ia melaksanakan dasar-dasar yang pro pasaran dan pro-perniagaan seperti dasar-dasar Parti Konservatif.
Apakah relevannya semua ini dengan isu negara Islam. Ia sungguh relevan kerana sebagaimana yang berlaku di Barat umat Islam juga berubah. Pemikiran umat berubah, generasi baru yang berpendidikan muncul dan cara mereka menanggapi isu berbeda generasi sebelumnya.
Ini tidak bermakna komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam berkurangan dari generasi sebelumnya. Bahkan mereka mahu melihat perlaksanaan Islam sebagai yang bersifat isi - dalam bentuk program Ñ dan bukan sekadar bersifat simbol atau retorika.
Dan lebih dari itu dalam konteks masyarakat majmuk, masyarakat pelbagai agama dan pelbagai bangsa pengungkapan program Islam itu harus bersifat inklusif, iaitu program yang boleh dilaksanakan secara sama antara yang Islam dan bukan Islam dan dengan pengggunaan bahasa dan pengungkapan yang boleh diterima dan menawan hati semua sektor masyarakat.
Perjuangan yang bersifat isi dan program seharusnya merujuk kepada persoalan dan keme-lut yang dihadapi oleh masyarakat. Apakah bentuk kebejatan, kezaliman dan kekurangan dalam masyarakat yang harus diatasi.
Telah ada muafakat dalam masyarakat, baik yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam tentang krisis besar yang dihadapi oleh negara. Isu demokrasi, hak asasi, kebebasan kehakiman, pembenterasan rasuah adalah bersifat isu.
Masalah ini dikongsi bersama oleh yang Islam dan bukan Islam sebagai rakyat Malaysia. Inilah yang disepakati dan menjadi isu prioriti. Semua ini adalah isu-isu masyarakat madani. Adakah isu ini bersifat Islam. Sudah tentu. Tetapi isu ini juga bersifat universal dan dikongsi mereka yang berlainan agama.
Sebagaimana kita tidak boleh lagi melihat pertentangan politik di Barat dalam bentuk konflik ideologi sosialisme-kapitalisme, maka tidak juga boleh melihat perjuangan politik di Malaysia dalam kerangka pertentangan antara kumpulan Islam dan kumpulan sekularis. Maka pengucapan dasar per-juangan harus mencerminkan realiti politik ini.
Lebih banyak persamaan antara Pas dengan DAP dari segi isu-isu besar yang diperjuangkan meskipun kedua-dua parti dari segi falsafah rasminya mempunyai falsafah perjuangan yang berbeda antara bumi dengan langit, daripada persamaan antara Pas dan Umno meskipun anggota kedua-dua parti adalah sama agama dan mempunyai falsafah hidup yang sama.
Berdasarkan kesamaan isu-isu yang diperjuangkan maka pengungkapan perjuangan tersebut haruslah bersifat inklusif agar sasaran yang bersifat majmuk dapat menerimanya.
Sekiranya pengungkapan perjuangan menggunakan istilah atau bahasa yang bersifat eksklusif (misalnya Islam di mana mereka yang bukan Islam merasakan mereka terkeluar) maka keberkesanannya pada sasaran yang bersifat majmuk adalah terbatas
AGAMA-AGAMA HARUS BERDIALOG
Oleh Budhy Munawar-Rachman
Belakangan ini banyak didiskusikan mengenai memudarnya kerukunan hidup beragama, dibandingkan sepuluh tahun lalu. Apalagi situasi tahun-tahun belakangan ini mengindikasikan suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang mulai kelihatan tidak toleran dalam hubungan antar umat beragama--lebih spesifik dalam hubungan Islam-Kristen dan sebaliknya, yang banyak diwarnai oleh sentimen, yang setidak-tidaknya dampaknya telah merusak kerukunan hidup beragama. Kenyataan faktual dewasa ini, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang mulai membenarkan intoleransi memang merupakan kenyataaan pahit yang kita rasakan bersama, yang harus kita terima dengan keterbukaan, agar dapat menjadi pemicu untuk membangun masa depan yang lebih baik mengenai hubungan antaragama: yang lebih terbuka dan demokratis.
Kita semua tahu, bahwa masalah hubungan antar umat beragama di Indonesia belakangan ini sangat kompleks. Banyak kepentingan ekonomi, sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut. Belum lagi agama dijadikan alat pemecah belah (disintegrasi), karena adanya konflik-konflik di tingkat elit dan militer. Konflik antaragama di Poso yang meledak beberapa waktu lalu, membuat kita sangat prihatin.
Adakah dasar teologis yang diperlukan untuk suatu basis kerukunan hidup beragama? Pertanyaan ini penting, karena selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis yang karena menyangkut masalah akidah (baca: kebenaran), tidaklah perlu dibicarakan--apalagi dicarikan titik temunya. Sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan menghasilkan masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global dan pasca-modern dewasa ini bersifat terbuka dan pluralistis.
Teologi Eksklusif atau Teologi Pluralis?
Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam buku-buku polemis maupun ilmiah. Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, masih menarik untuk diungkapkan di sini: Katanya, "Other religions are false paths, that mislead their followers" (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan Ajith Fernando yang dibahas dalam bukunya The Christian's Attitude toward World Religions (1987) ini memang sangat keras dan langsung tergambar eksklusivitasnya. Dan yang menjadikan kita kaget adalah kitab suci ternyata dianggapnya membenarkan hal tersebut. Ayat yang sering dikutip dari Alkitab: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14: 6), atau "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kisah Para Rasul 4:12).
Pandangan eksklusif memang bisa dilegitimasikan lewat kitab suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sejak Konsili Vatikan II, sudah jelaslah bahwa pandangan Gereja menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-Kristiani. Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifnya kira-kira dengan mengatakan. "Other religions are implicit forms of our own religion" (agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita).
Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep "ahl al-kitâb" (ahli kitab) yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-muslim, dan ini dibenarkan oleh al-Qur'an sendiri. Tetapi selalu saja ada interpretation away, sebuah cara penafsiran, yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu yang tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, misalnya yang jelas-jelas mendukung keterbukaan terhadap keberadaan dan keselamatan agama-agama lain. Penafsiran eksklusif dalam Islam bisa muncul misalnya dalam pembacaan ayat berikut, "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam" (Q. 3: 19). Atau, "Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q. 3:85). Padahal kalau ayat ini dibaca dengan semangat inklusif, semangat agama universal (al-dîn al-jâmi`) dengan mengembalikan makna islâm di sini dalam arti generiknya sebagai "pasrah sepenuhnya (kepada Allah)", maka maknanya akan berbeda sekali: bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah agama yang membawa kepasrahan kepada-Nya. Dan barangsiapa yang mencari agama selain dari kepasrahan kepada-Nya, maka agama itu tidak akan diterima, dan ia di akhirat termasuk orang yang merugi.
Mengenai masalah keselamatan dalam agama-agama non-Islam, menarik memperhatikan ayat al-Qur'an berikut (Q. 2:62 juga 5:69), "Mereka yang beriman (kepada al-Qur'an), orang Yahudi, Kristiani, dan Sabi`in, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan melakukan kebaikan, pahala mereka ada pada Tuhan, mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih." Ayat ini secara literal sangat jelas meneguhkan mengenai adanya keselamatan dalam agama-agama. Tetapi anehnya, mayoritas komentator muslim dengan sia-sia telah berusaha untuk tidak menerima maksud yang jelas dinyatakan kedua ayat tersebut, bahwa keselamatan seseorang di akhirat sebenarnya hanya tergantung pada tiga hal: (1) apakah ia percaya kepada Allah, (2) apakah ia percaya pada hari akhirat (adanya pembalasan atas perbuatan baik dan buruk), dan (3) apakah ia melakukan perbuatan kebaikan kepada sesama umat manusia. Jadi bukan pada apa agama formalnya!
Pada umumnya penafsir al-Qur'an sepanjang sejarah banyak yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi`in dalam ayat ini adalah mereka yang telah masuk Islam. Penafsiran yang jelas sekali salah, karena mereka dalam ayat tersebut ditaruh dalam rangkaian dengan kaum Muslim. Ada juga pendapat lain bahwa yang dimaksudkan dengan orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabi`in itu adalah mereka yang saleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Penafsiran ini jelas lebih salah lagi!
Begitulah, kita baik kaum Muslim maupun umat Kristiani telah mewarisi begitu mendalam teologi eksklusif itu: yang rumusan inti ajarannya adalah--seperti ditulis oleh filsuf agama terkemuka Alvin Plantinga dalam buku Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama --"the tenets of one religions are in fact true; any propositions that are incompatible with these tenets are false" atau Joh Hick, "The exclusivists think that their description of God is the true description and the others are mistaken insofar they differ from it." Karena pandangan tersebut, maka mereka menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri! Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik.
Oleh karena itulah diperlukan suatu perspektif baru dalam melihat "Apa yang dipikirkan oleh suatu agama, mengenai agama lain dibandingkan dengan agama sendiri?" Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah seorang beragama itu menganut suatu teologi yang eksklusif, inklusif atau pluralis. Apakah ia seorang yang terbuka atau otoriter?
Menganut suatu teologi eksklusif dalam beragama bukan hal yang sulit. Karena secara umum, sepanjang sejarah sebenarnya cukup umum tekanan-tekanan untuk beragama secara eksklusif. Kalau batasnya adalah Konsili Vatikan II, maka baru sejak 1963-1965 lah secara resmi ada usaha-usaha global untuk memulai perkembangan teologi ke arah yang inklusif. Dan baru belakangan ini saja berkembang teologi yang lebih pluralis--yang lebih menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam agama-agama— yang dapat lebih digali lewat kajian teologi agama-agama.
Dewasa ini penerimaan atas pluralisme tidak bisa hanya didasarkan atas kesadaran bahwa kita ini adalah bangsa yang majemuk dari segala segi SARA-nya, sebab kalau ini pijakannya, maka kita sebenarnya berangkat dari kenyataan sosial yang terfragmentasi (terpecah-pecah)--yang karena itu diperlukan pluralisme sebagai cara untuk menghindari kefanatikan, jadi fungsinya hanya sebagai a negative good. Padahal kebutuhan sekarang bukan hanya karena fakta sosiologis saja, tapi bisakah paham pluralisme itu itu dibangun karena begitulah faktanya mengenai kebenaran, bukan hanya karena fakta sosialnya! Pluralisme adalah bagian dari--seperti sering dikatakan Prof Dr Nurcholish Madjid-- "pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Nah, persis sejalan dengan kebutuhan itu, teologi agama-agama bisa menjelaskan alasan teologisnya mengapa suatu agama perlu masuk dalam dialog antar agama, yang di dalamnya akan didalami bersama partner dialog, "a new depths of understanding of God's saving ways". Di sini teologi agama-agama akan mempersiapkan komunitas beragama dalam kepemimpinan teologis dalam memasuki dialog antar-agama itu. Ini penting sebab sekarang diyakini diktum: Those who know only their own religion, know none. Those who are not decisively committed to one faith, know no others. To be religious today is to be interreligious! Jika diktum ini sudah diterima, akan lebih mudahlah memasuki dialog antar-agama, dan selanjutnya segi teologisnya, yang dari sini pemerkayaan iman akan sangat dimungkinkan. Usaha-usaha besar pencarian "etika global" dari agama-agama yang populer sejak Sidang Parlemen Agama-agama (1993), menurut saya akan jauh lebih mendasar jika berangkat dari dialog teologis, yang meneguhkan sikap paralelisme itu --yang mengekspresikan adanya kesadaran "Satu Tuhan, dalam banyak jalan"
Pemimpin Sufi seperti Jalal al-Din Rumi, misalnya, melukiskan pandangan pluralisnya dengan menggunakan gambaran berikut, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka`bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Dalam semangat paralelisme, titik temu, bahkan kesatuan inilah kita menghargai keberbedaan. Perbedaan agama-agama ini perlu dikenal dan diolah lebih lanjut, karena perbedaan ini secara potensial bernilai dan penting bagi setiap orang beragama dalam pemerkayaan imannya. Maka isi yang bernilai dari agama-agama itu harus disharekan, dan dikomunikasikan.
Agama-agama harus berdialog. Ibaratnya, kalau saya mengenal Anda, bahwa Anda sungguh-sungguh berbeda dari saya, dan jika saya juga mengenali bahwa apa yang berbeda itu dapat juga benar dan bernilai sekaligus, saya pasti tidak akan bisa melupakan Anda! Begitu jugalah dengan dunia agama-agama. "Other religions are not only genuinely different, they can also be genuinely valuable"
Budhy Munawar-Rachman
Pengajar filsafat pada Universitas Paramadina, Jakarta
Buku: Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Media : Republika , 25 Januari 1998
Buku: Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Media: Kompas , 1 Februari 1998
Buku: Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama
Media: Ummat , 2 Februari 1998
Pluralisme: Rahmat atau Laknat?
Di saat konflik horisontal merebak di berbagai wilayah negeri ini, kata damai dan perdamaian memang terasa sangat indah. Di mana-mana orang berbicara dan meneriakkan keinginan untuk mewujudkan perdamaian. Bahkan TNI, lembaga yang selama ini anggotanya dikenal kerap melakukan tindak kekerasan dan melanggar HAM, tak mau ketinggalan menyuarakan seruan damai, seperti nampak dari berbagai spanduk yang berbunyi, "Damai itu indah" di berbagai markas dan kantornya di Jakarta.
Sebagai sebuah bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta sangat beragam (plural), Indonesia memang memiliki risiko konflik dan perpecahan yang cukup besar. Karenanya sangat wajar apabila ada sejumlah pihak tak bosan-bosannya berupaya merukunkan berbagai elemen masyarakat yang selama ini terjebak konflik, termasuk konflik antar ummat beragama di Maluku, Poso, dan wilayah lainnya.
Upaya itu dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat beragama yang sudah diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada juga apel keagamaan, seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK) Universitas Dr Soetomo Surabaya. Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan Antarumat Beragama' itu menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali Maschan Moesa, MSi (Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I Made Gunartha (Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan kalangan LSM dan mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu Selamat Datang (HI) Jakarta dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.
Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir, rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu akhirnya ditiadakan.
Selesai? Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini berganti nama menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para cendekiawan dari berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm) Harun Nasution, Nucholish Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan yang meminjam istilah kalangan ini bercorak Neo-Modernisme terus ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan di media massa dan forum-forum ilmiah.
Ada berbagai gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an kemudian muncul gagasan Islam Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam Liberal.
Maret tahun ini Penerbit Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam Pluralis, yang merupakan kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman. Kemudian tengah bulan silam penerbit yang sama meluncurkan buku berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir ini merupakan kumpulan tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional yang disunting oleh Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North Carolina. Di penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra Muzaffar, Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto, Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.
Inklusif dan Pluralis
Di antara berbagai wacana itu, yang paling gencar disosialisasikan adalah wacana Islam Inklusif. Karena kalangan tersebut menganggap banyak ummat beragama ¬terutama yang sering disorot kalangan Muslim bersikap eksklusif. Apa maksudnya? Menurut salah seorang aktivis kalangan ini, Sukidi, seseorang tergolong eksklusif manakala merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama-agama lain dituduh sesat. Mereka yang eksklusif, masih kata Sukidi, cenderung memonopoli kebenaran agama (claim of truth) dan paham keselamatan (claim of salvation).
Sikap seperti itu, menurut Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Budhy Munawar Rachman, membuat berbagai konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar-agama.
Senada dengan hal itu, Jabir Al Faruqi, Direktur Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP) Semarang, dengan mengutip pendapat ilmuwan Barat Paul Knitter, menulis di harian Kompas (13/6/1997), "Semua agama pada dasarnya adalah relatif. Karena itu sekarang ini sikap menganggap sebuah agama lebih baik dari yang lain dirasa sebagai sebuah sikap yang agak salah dan ofensif."
Budhy juga mengecam orang-orang yang meyakini bahwa hanya ada satu jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri. "Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis dan otoriter!!!" tulisnya di Republika (24/06/2000).
Budhy kemudian mengajak orang menuju suatu teologi yang disebutnya teologi pluralis. Yakni, melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same thruth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid thruts (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengespresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Benang merahnya, teologi pluralis mengajak orang menuju sikap pararelisme terhadap berbagai agama, dengan menganggap semua agama sama sahihnya sebagai jalan menuju kebenaran. "Satu Tuhan, dalam banyak jalan," ungkap Budhy.
Untuk menopang pendapatnya itu Budhy tak lupa mengutip pendapat ahli sufi, Jalaluddin Rumi yang menyatakan, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka'bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Masih ada sejumlah pemikir yang mempunyai pandangan senada dengan Budhy. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman Wahid, yang baru saja dimakzulkan dari kursi kepresidenan RI oleh MPR. Ketika baru terpilih jadi presiden, dalam kunjungannya di Bali ia mengungkapkan, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar."
Sebagian pemikir Islam nampaknya terkagum-kagum dengan hasil Konsili Vatikan II (1965) yang dihasilkan kalangan Katolik. Dalam konsili memang terdapat pandangan yang mengakui adanya jalan keselamatan dalam agama-agama non-Kristen. Lalu para pemikir itu menghendaki kalangan Islam juga menghasilkan pandangan seperti itu melalui wacana pluralisme.
Sinkretisme
Berbagai gagasan itu menurut Sekretaris Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Adian Husaini, sebenarnya hanyalah gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah. Karena pluralisme pada hakekatnya sama dengan sinkretisme, paham yang mencampurkan ajaran satu agama dengan agama lainnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada sejumlah pemikir dan pengamat yang entah sengaja atau tidak kerap merancukan makna antara pluralitas dan pluralisme. Memang keduanya berasal dari akar kata yang sama: plural, yang artinya majemuk atau beragam. Namun setelah menjadi kata jadian, pluralitas berbeda dengan pluralisme.
Pluralitas yang berarti kemajemukan adalah fakta kehidupan dan merupakan kehendak Allah, misalnya tentang kemajemukan bangsa dan suku sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49) ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." Juga pada surat Ar-Ruum (30), "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berain-lainan bahasamu dan warna kulitmu"
Allah juga menciptakan kemajemukan ummat, meski Ia mampu menciptakan satu ummat manusia saja, agar tiap-tiap mereka berlomba menuju kebaikan. Bahkan hal itulah yang menjadi tujuan-Nya mencipta manusia, sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 118-119: "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka."; dan pada surat Al-Maidah (5) ayat 48, "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan"
Jadi pluralitas atau kemajemukan adalah realitas dan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Terhadap kenyataan itu Rasulullah Muhammad saw, para sahabat dan pengikutnya telah menunjukkan pada dunia tentang bagaimana cara hidup dan bergaul di tengah masyarakat yang majemuk.
Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, masyarakat negeri itu tidak homogen, melainkan terdiri dan beragam bangsa (Arab dan Bani Israel), suku (Aus, Khajraj, Quraisy dll), kelompok (Muhajirin dan Anshar) dan agama (Islam, Yahudi dan paganis). Untuk menggalang persatuan di antara mereka, termasuk dengan kelompok Yahudi, Rasulullah kemudian mengadakan perjanjian persatuan dan kerjasama seperti yang tertuang dalam Piagam Madinah.
Salah satu pasalnya berbunyi: "Kaum Mukminin dan kaum Muslimin, dari Quraisy dan penduduk Yatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, maka bergabung dengan mereka dan berjuang bersama-sama. Mereka ummat yang satu yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain Orang-orang Yahudi adalah satu ummat bersama kaum Mukminin. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka."
Dalam berbagai buku sejarah Islam dapat jelas terbaca bahwa Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah sangat biasa bergaul dan bermuamalah dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan secara damai. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Nabi Muhammad pernah berhutang pada orang Yahudi. Dan hadits lain diriwayatkan Nabi pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, hingga tersentuh hatinya lalu masuk Islam. Konflik baru terjadi ketika orang-orang Yahudi melakukan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah dalam perang Khandaq, sehingga diusir keluar dari Madinah.
Ketika Dinasti Umayyah (etnis Arab) berkuasa lima abad di Andalusia (Spanyol), di negeri itu tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi, hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi. Tapi ketika negeri itu berhasil ditaklukkan kembali oleh Kerajaan Spanyol yang Katolik, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang Muslim dan orang Yahudi oleh pasukan Kerajaan Spanyol.
Artinya, ummat Islam jika benar-benar memahami ajaran agamanya ¬tanpa dikuliahi teori-teori Barat pasti mereka akan dapat mengembangkan sikap toleran, bersahabat terhadap kalangan non-Muslim. Dalam menjalankan hubungan sosial yang bersifat muamalah, ummat Islam akan bersikap inklusif. Tetapi jika sudah menyangkut masalah keimanan dan akidah tidak ada kompromi dan konvergensi.
Namun bagi kalangan pengusung gagasan pluralisme, sikap inklusif seperti itu dianggap tidak memadai. Harus ada upaya konvergensi, seperti yang diharap Sukidi, "Mengingat pluralisme agama merupakan sunnatullah (kehendak Tuhan), maka sangat urgen sekali adanya konvergensi agama-agama, yaitu usaha mencari titik temu agama-agama Jadi meskipun secara eksoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik, semuanya bermuara pada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa."
Pandangan seperti itu ditentang keras oleh Daud Rasyid Sitorus, staf pengajar LIPIA Jakarta yang pernah berpolemik dengan Nucholish Madjid. Menurutnya, ajaran Islam mengakui adanya pluralitas, tapi tidak membenarkan pluralisme. "Masyarakat yang beragam diakui dalam Al-Quran, tapi Islam tegas mengatakan bahwa tidak semua agama itu benar. Karena tidak mungkin orang menganut suatu agama kalau dia tidak meyakini agamanya yang paling benar."
Lebih lanjut Daud menjelaskan, Islam tidak melarang ummatnya berhubungan sosial dengan ummat lain dalam konteks bermuamalah. Tapi jika sudah menyangkut aqidah dan ibadah, tidak ada kompromi. "Kita boleh bergaul dan menghormati orang beragama lain, tapi jangan sampai mengakui semua agama benar. Dalam riwayat Nabi pernah bermuamalah dengan orang Yahudi, tapi dalam hal aqidah tidak ada kompromi."
Upaya menggebu-gebu kalangan pemikir Islam dalam mengkampanyekan pluralisme dan konvergensi agama patut diberi tanda tanya. Sebab ujung-ujungnya mengajak untuk kompromi aqidah, dengan turut memberi pembenaran kepada ajaran agama lain. Padahal pemikir Kristen yang juga gencar menyuarakan pluralisme dan dialog antar ummat beragama, seperti mendiang pendeta Victor Tanja, tidak berfikir sampai sejauh itu. "Dalam setiap agama para pemeluknya menyembah Tuhan YME menurut pandangan agama masing-masing. Kejelasan ini perlu dipegang untuk menghindari kompromi aqidah," tulisnya di Republika.
Victor dengan mengutip pendapat seorang uskup gereja Ortodok Syria, juga memberi contoh hubungan antar ummat beragama yang proporsional dan tidak kebablasan, "Tujuan kemitraan bukan untuk membentuk satu agama dunia dengan memperpadukan semua agama. Menurut dia ini adalah usaha sia-sia. Tujuan sebenarnya adalah untuk mencari suatu landasan bersama yang di atasnya semua budaya dunia dapat saling bertemu dalam suasana saling menghormati, serta dapat hidup dalam kepelbagaian agama-agama secara global tanpa kehilangan identitas masing-masing."
Bicara tentang kompromi aqidah dan ibadah akan mengingatkan kita pada suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan dalam Al-Quran. Alkisah para pemuka kafir Quraisy tiba pada suatu kondisi merasa tak mampu lagi membendung upaya da'wah yang dilakukan Nabi Muahammad dan menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme (menyembah berhala) yang mereka anut akan tersingkir oleh risalah Islam, maka kemudian mereka mendatangi Nabi dan menawarkan kompromi.
Mereka mengajak kedua belah pihak saling mengakui kebenaran kepercayaan keduanya Islam dan paganismelalu kedua belah pihak melakukan ibadah bersama secara bergantian. Caranya, hari ini kedua belah pihak melakukan ibadah Islam, keesokan harinya kedua belah pihak melakukan ibadah penyembahan berhala.
Tawaran kompromi aqidah dan ibadah ini ditolak mentah-mentah oleh Allah dan rasul-Nya. Allah kemudian mengutus malaikat Jibril menurunkan surat Al-Kafirun, yang mengajarkan ummat Islam untuk menolak segala bentuk kompromi aqidah dan ibadah dengan orang kafir.
Ayat 2 surat tersebut berbunyi, "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah." Larangan menyembah apa yang disembah orang kafir, mengandung arti larangan membenarkan kepercayaan mereka dan larangan mempercayai bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal konsep orang Muslim dan orang kafir. Bagi orang kafir tidak ada jalan keselamatan untuk mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam.
Kalau kalangan pengusung pluralisme mengakui kebenaran dan adanya jalan keselamatan bagi kalangan non-Muslim, lantas menurut mereka, siapakah yang Allah maksud dengan orang kafir yang Dia janjikan masuk neraka jahannam?
Wallahu a'lam bish-shawab.• (shw, dek)
Inklusif
Polemik negara Islam yang tiba-tiba meletus di Malaysia adalah suatu yang pasti berlaku. Kalau tidak sekarang ia akan datang pada masa depan. Lebih awal umat Islam, khususnya golongan intelektual muslim, menanganinya adalah lebih baik.
Di Malaysia hari ini polemik ini seperti dipaksakan oleh DAP. Kalau begitu latah DAP tentang negara Islam punya peran positif, ia mengejutkan umat dari ngantuk intelektualnya. Kerana isu ini di bangkitkan oleh rakan maka kita harus menangani dengan bijaksana.
Kita katakan rakan bukan sekadar Pas dan DAP sama-sama dalam BA tetapi kerana kesemuanya secara ikhlas berkongsi dalam matlamat besar dalam perjuangan politik: untuk menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan bersuara dan akhbar, kebebasan institusi kehakiman, membanteras rasuah, nepotisme dan kronisme dan sebagainya.
Tetapi ini tidak bermakna dalam masyarakat di mana umat Islam merupakan majoriti besar dari penduduk polemik ini tidak boleh berlaku. Ia juga boleh berlaku antara golongan berbeda dalam umat.
Di zaman di mana perjuangan politik ditandai oleh persengketaan ideologi maka kumpulan-kumpulan politik duduk di bawah bendera ideologi masing-masing. Ada kumpulan nasionalis, kumpulan sosialis dan perjuangan politik yang berasaskan Islam menamakan diri mereka sebagai Islamis dan negara Islam selalu dijadikan slogan perjuangan.
Slogan di sini bukan dalam erti kata murahan, tetapi sebagai satu formula yang mereka yakini, di mana perlaksanaannya akan menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial.
Tetapi sejak dua dekad yang lalu perjuangan politik tidak lagi dipengaruhi oleh persengketaan ideologi. Kecuali kumpulan-kumpulan kecil, selalunya intelektual, persaingan politik adalah lebih bersifat programmatik. Parti manakah yang boleh mengemukakan program ekonomi dan sosial yang paling lumayan untuk rakyat.
Sejak tahun-tahun 1970an program dan dasar-dasar ekonomi sosialis di seluruh dunia - Soviet Russia, China, India, Eropah Timur - telah menunjukkan kegagalannya. Yang dimaksudkan dengan dasar-dasar ekonomi sosialis adalah di mana keputusan apa yang perlu dikeluarkan oleh negara ditentukan oleh negara melalui perancangan pusat, sementara dalam dasar ekonomi bebas keputusan tersebut ditentukan oleh individu dan syarikat menurut permintaan dan penawaran dalam pasaran.
Tetapi pembahagian antara sosialis-kapitalis bukanlah mutlak. Negara-negara yang disebut sebagai negara kapitalis iaitu negara-negara Eropah Barat dan Amerika Syarikat turut melaksanakan program yang bersifat sosialis atau sering disebut sebagai ÒinterventionistÓ atau dalam istilah Perancisnya "dirigisme".
Meskipun dalam negara negara ini keputusan apa yang hendak dikeluarkan tentukan oleh individu dan syarikat mengikut permintaan dan penawaran dalam pasaran masih mendominasi keseluruhan ekonomi tetapi kehadiran aspek "interventionist" atau "dirigisme" yang agak besar melembabkan pertumbuhan.
Sejak tahun 70an telah jelas kelihatan negara-negara yang mengamalkan sistem sosial jauh tinggal ke belakang dari segi ekonomi - di samping aspek politik kediktatoran dan tekanan terhadap kebebasan yang menggerunkan - dan pada ketika yang sama aspek-aspek sosialis - "interventionist" atau "dirigisme" - dalam negara yang mengamalkan system pasaran menjadi punca kepada kelembaban ekonomi dan kadar cukai yang tinggi.
Maka visi sosialis semakin hilang tarikannya. Dan dalam negara yang mengamalkan ekonomi bebas aspek "interventionist" atau "dirigisme" semakin tidak popular.
Pemberontakan terhadap aspek-aspek sosialis dalam system ekonomi bebas mencapai kemuncaknya di kemenangan Margaret Thatcher dalam Parti Konservatif di UK dalam tahun 1982 dan kemenangan Ronald Reagan di AS dalam tahun.
Pemberontakan terhadap visi sosialis menjadi satu batu tanda sejarah dengan runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan Jerman, jatuhnya rejim komunis-sosialis Eropah Timur dalam tahun 1989 dan akhirnya berkecainya Kesatuan Soviet Russia.
Maka sejak revolusi Thatcher-Reagan berlaku anjakan ke kanan, kemenangan politik kepada parti-parti politik yang menawarkan dasar-dasar pro pasaran termasuk di negara yang mempunyai tradisi kiri yang kuat iaitu Peranchis dengan kemenangan Chirac yang mewakili parti RPR yang berhaluan kanan sebagai Presiden.
Tetapi kemenangan aliran politik kanan bukan bermakna roda sejarah berhenti. Cabaran dan masalah politik baru muncul dan ternyata parti-parti politik beraliran kanan di Barat dapat memberikan segala penyele-saian yang memuaskan.
Sejak Reagan Parti Republikan di AS yang berhaluan kanan menguasai kerusi presiden selama tiga penggal berturut-turut, Reagan selama dua penggal dan Bush (bapa) satu penggal. Percubaan Bush (bapa) untuk dipilih untuk penggal kedua menunjukkan aliran kanan telah kehilangan kuasa pukaunya.
Begitu juga di UK. Parti Konservatif yang beraliran kanan berkuasa selama 18 tahun akhirnya tewas juga kepada parti Buruh yang dahulunya beraliran kiri. Di Jerman parti Christian Democratic Union yang beraliran kanan di tewaskan oleh Social Democratic Party yang beraliran kiri.
Tetapi adakah ini bermakna kebangkitan semua aliran kiri atau sosialis? Tidak benar sama sekali. Sejak robohnya Tembok Berlin dan leburnya Kesatuan Soviet parti-parti yang beraliran kiri berusaha mencipta semula imej mereka.
Mereka tidak lagi menekankan ideologi sebaliknya berusaha mencerminkan mereka sebagai parti politik yang peka dengan kehendak rakyat dari segi ekonomi, peluang pekerjaan, pelaburan untuk menjadikan ekonomi mereka lebih berdaya saing, mengurangkan beban cukai dan sebagainya.
Di UK Parti Buruh menggunakan slogan "New Labour" untuk memisahkan perjuangan parti tersebut perjuangan sosialis sebelumnya. Maka apabila parti tersebut menang ia melaksanakan dasar-dasar yang pro pasaran dan pro-perniagaan seperti dasar-dasar Parti Konservatif.
Apakah relevannya semua ini dengan isu negara Islam. Ia sungguh relevan kerana sebagaimana yang berlaku di Barat umat Islam juga berubah. Pemikiran umat berubah, generasi baru yang berpendidikan muncul dan cara mereka menanggapi isu berbeda generasi sebelumnya.
Ini tidak bermakna komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam berkurangan dari generasi sebelumnya. Bahkan mereka mahu melihat perlaksanaan Islam sebagai yang bersifat isi - dalam bentuk program Ñ dan bukan sekadar bersifat simbol atau retorika.
Dan lebih dari itu dalam konteks masyarakat majmuk, masyarakat pelbagai agama dan pelbagai bangsa pengungkapan program Islam itu harus bersifat inklusif, iaitu program yang boleh dilaksanakan secara sama antara yang Islam dan bukan Islam dan dengan pengggunaan bahasa dan pengungkapan yang boleh diterima dan menawan hati semua sektor masyarakat.
Perjuangan yang bersifat isi dan program seharusnya merujuk kepada persoalan dan keme-lut yang dihadapi oleh masyarakat. Apakah bentuk kebejatan, kezaliman dan kekurangan dalam masyarakat yang harus diatasi.
Telah ada muafakat dalam masyarakat, baik yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam tentang krisis besar yang dihadapi oleh negara. Isu demokrasi, hak asasi, kebebasan kehakiman, pembenterasan rasuah adalah bersifat isu.
Masalah ini dikongsi bersama oleh yang Islam dan bukan Islam sebagai rakyat Malaysia. Inilah yang disepakati dan menjadi isu prioriti. Semua ini adalah isu-isu masyarakat madani. Adakah isu ini bersifat Islam. Sudah tentu. Tetapi isu ini juga bersifat universal dan dikongsi mereka yang berlainan agama.
Sebagaimana kita tidak boleh lagi melihat pertentangan politik di Barat dalam bentuk konflik ideologi sosialisme-kapitalisme, maka tidak juga boleh melihat perjuangan politik di Malaysia dalam kerangka pertentangan antara kumpulan Islam dan kumpulan sekularis. Maka pengucapan dasar per-juangan harus mencerminkan realiti politik ini.
Lebih banyak persamaan antara Pas dengan DAP dari segi isu-isu besar yang diperjuangkan meskipun kedua-dua parti dari segi falsafah rasminya mempunyai falsafah perjuangan yang berbeda antara bumi dengan langit, daripada persamaan antara Pas dan Umno meskipun anggota kedua-dua parti adalah sama agama dan mempunyai falsafah hidup yang sama.
Berdasarkan kesamaan isu-isu yang diperjuangkan maka pengungkapan perjuangan tersebut haruslah bersifat inklusif agar sasaran yang bersifat majmuk dapat menerimanya.
Sekiranya pengungkapan perjuangan menggunakan istilah atau bahasa yang bersifat eksklusif (misalnya Islam di mana mereka yang bukan Islam merasakan mereka terkeluar) maka keberkesanannya pada sasaran yang bersifat majmuk adalah terbatas
Inklusif
Polemik negara Islam yang tiba-tiba meletus di Malaysia adalah suatu yang pasti berlaku. Kalau tidak sekarang ia akan datang pada masa depan. Lebih awal umat Islam, khususnya golongan intelektual muslim, menanganinya adalah lebih baik.
Di Malaysia hari ini polemik ini seperti dipaksakan oleh DAP. Kalau begitu latah DAP tentang negara Islam punya peran positif, ia mengejutkan umat dari ngantuk intelektualnya. Kerana isu ini di bangkitkan oleh rakan maka kita harus menangani dengan bijaksana.
Kita katakan rakan bukan sekadar Pas dan DAP sama-sama dalam BA tetapi kerana kesemuanya secara ikhlas berkongsi dalam matlamat besar dalam perjuangan politik: untuk menegakkan demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan bersuara dan akhbar, kebebasan institusi kehakiman, membanteras rasuah, nepotisme dan kronisme dan sebagainya.
Tetapi ini tidak bermakna dalam masyarakat di mana umat Islam merupakan majoriti besar dari penduduk polemik ini tidak boleh berlaku. Ia juga boleh berlaku antara golongan berbeda dalam umat.
Di zaman di mana perjuangan politik ditandai oleh persengketaan ideologi maka kumpulan-kumpulan politik duduk di bawah bendera ideologi masing-masing. Ada kumpulan nasionalis, kumpulan sosialis dan perjuangan politik yang berasaskan Islam menamakan diri mereka sebagai Islamis dan negara Islam selalu dijadikan slogan perjuangan.
Slogan di sini bukan dalam erti kata murahan, tetapi sebagai satu formula yang mereka yakini, di mana perlaksanaannya akan menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial.
Tetapi sejak dua dekad yang lalu perjuangan politik tidak lagi dipengaruhi oleh persengketaan ideologi. Kecuali kumpulan-kumpulan kecil, selalunya intelektual, persaingan politik adalah lebih bersifat programmatik. Parti manakah yang boleh mengemukakan program ekonomi dan sosial yang paling lumayan untuk rakyat.
Sejak tahun-tahun 1970an program dan dasar-dasar ekonomi sosialis di seluruh dunia - Soviet Russia, China, India, Eropah Timur - telah menunjukkan kegagalannya. Yang dimaksudkan dengan dasar-dasar ekonomi sosialis adalah di mana keputusan apa yang perlu dikeluarkan oleh negara ditentukan oleh negara melalui perancangan pusat, sementara dalam dasar ekonomi bebas keputusan tersebut ditentukan oleh individu dan syarikat menurut permintaan dan penawaran dalam pasaran.
Tetapi pembahagian antara sosialis-kapitalis bukanlah mutlak. Negara-negara yang disebut sebagai negara kapitalis iaitu negara-negara Eropah Barat dan Amerika Syarikat turut melaksanakan program yang bersifat sosialis atau sering disebut sebagai ÒinterventionistÓ atau dalam istilah Perancisnya "dirigisme".
Meskipun dalam negara negara ini keputusan apa yang hendak dikeluarkan tentukan oleh individu dan syarikat mengikut permintaan dan penawaran dalam pasaran masih mendominasi keseluruhan ekonomi tetapi kehadiran aspek "interventionist" atau "dirigisme" yang agak besar melembabkan pertumbuhan.
Sejak tahun 70an telah jelas kelihatan negara-negara yang mengamalkan sistem sosial jauh tinggal ke belakang dari segi ekonomi - di samping aspek politik kediktatoran dan tekanan terhadap kebebasan yang menggerunkan - dan pada ketika yang sama aspek-aspek sosialis - "interventionist" atau "dirigisme" - dalam negara yang mengamalkan system pasaran menjadi punca kepada kelembaban ekonomi dan kadar cukai yang tinggi.
Maka visi sosialis semakin hilang tarikannya. Dan dalam negara yang mengamalkan ekonomi bebas aspek "interventionist" atau "dirigisme" semakin tidak popular.
Pemberontakan terhadap aspek-aspek sosialis dalam system ekonomi bebas mencapai kemuncaknya di kemenangan Margaret Thatcher dalam Parti Konservatif di UK dalam tahun 1982 dan kemenangan Ronald Reagan di AS dalam tahun.
Pemberontakan terhadap visi sosialis menjadi satu batu tanda sejarah dengan runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan Jerman, jatuhnya rejim komunis-sosialis Eropah Timur dalam tahun 1989 dan akhirnya berkecainya Kesatuan Soviet Russia.
Maka sejak revolusi Thatcher-Reagan berlaku anjakan ke kanan, kemenangan politik kepada parti-parti politik yang menawarkan dasar-dasar pro pasaran termasuk di negara yang mempunyai tradisi kiri yang kuat iaitu Peranchis dengan kemenangan Chirac yang mewakili parti RPR yang berhaluan kanan sebagai Presiden.
Tetapi kemenangan aliran politik kanan bukan bermakna roda sejarah berhenti. Cabaran dan masalah politik baru muncul dan ternyata parti-parti politik beraliran kanan di Barat dapat memberikan segala penyele-saian yang memuaskan.
Sejak Reagan Parti Republikan di AS yang berhaluan kanan menguasai kerusi presiden selama tiga penggal berturut-turut, Reagan selama dua penggal dan Bush (bapa) satu penggal. Percubaan Bush (bapa) untuk dipilih untuk penggal kedua menunjukkan aliran kanan telah kehilangan kuasa pukaunya.
Begitu juga di UK. Parti Konservatif yang beraliran kanan berkuasa selama 18 tahun akhirnya tewas juga kepada parti Buruh yang dahulunya beraliran kiri. Di Jerman parti Christian Democratic Union yang beraliran kanan di tewaskan oleh Social Democratic Party yang beraliran kiri.
Tetapi adakah ini bermakna kebangkitan semua aliran kiri atau sosialis? Tidak benar sama sekali. Sejak robohnya Tembok Berlin dan leburnya Kesatuan Soviet parti-parti yang beraliran kiri berusaha mencipta semula imej mereka.
Mereka tidak lagi menekankan ideologi sebaliknya berusaha mencerminkan mereka sebagai parti politik yang peka dengan kehendak rakyat dari segi ekonomi, peluang pekerjaan, pelaburan untuk menjadikan ekonomi mereka lebih berdaya saing, mengurangkan beban cukai dan sebagainya.
Di UK Parti Buruh menggunakan slogan "New Labour" untuk memisahkan perjuangan parti tersebut perjuangan sosialis sebelumnya. Maka apabila parti tersebut menang ia melaksanakan dasar-dasar yang pro pasaran dan pro-perniagaan seperti dasar-dasar Parti Konservatif.
Apakah relevannya semua ini dengan isu negara Islam. Ia sungguh relevan kerana sebagaimana yang berlaku di Barat umat Islam juga berubah. Pemikiran umat berubah, generasi baru yang berpendidikan muncul dan cara mereka menanggapi isu berbeda generasi sebelumnya.
Ini tidak bermakna komitmen mereka terhadap nilai-nilai Islam berkurangan dari generasi sebelumnya. Bahkan mereka mahu melihat perlaksanaan Islam sebagai yang bersifat isi - dalam bentuk program Ñ dan bukan sekadar bersifat simbol atau retorika.
Dan lebih dari itu dalam konteks masyarakat majmuk, masyarakat pelbagai agama dan pelbagai bangsa pengungkapan program Islam itu harus bersifat inklusif, iaitu program yang boleh dilaksanakan secara sama antara yang Islam dan bukan Islam dan dengan pengggunaan bahasa dan pengungkapan yang boleh diterima dan menawan hati semua sektor masyarakat.
Perjuangan yang bersifat isi dan program seharusnya merujuk kepada persoalan dan keme-lut yang dihadapi oleh masyarakat. Apakah bentuk kebejatan, kezaliman dan kekurangan dalam masyarakat yang harus diatasi.
Telah ada muafakat dalam masyarakat, baik yang beragama Islam dan yang tidak beragama Islam tentang krisis besar yang dihadapi oleh negara. Isu demokrasi, hak asasi, kebebasan kehakiman, pembenterasan rasuah adalah bersifat isu.
Masalah ini dikongsi bersama oleh yang Islam dan bukan Islam sebagai rakyat Malaysia. Inilah yang disepakati dan menjadi isu prioriti. Semua ini adalah isu-isu masyarakat madani. Adakah isu ini bersifat Islam. Sudah tentu. Tetapi isu ini juga bersifat universal dan dikongsi mereka yang berlainan agama.
Sebagaimana kita tidak boleh lagi melihat pertentangan politik di Barat dalam bentuk konflik ideologi sosialisme-kapitalisme, maka tidak juga boleh melihat perjuangan politik di Malaysia dalam kerangka pertentangan antara kumpulan Islam dan kumpulan sekularis. Maka pengucapan dasar per-juangan harus mencerminkan realiti politik ini.
Lebih banyak persamaan antara Pas dengan DAP dari segi isu-isu besar yang diperjuangkan meskipun kedua-dua parti dari segi falsafah rasminya mempunyai falsafah perjuangan yang berbeda antara bumi dengan langit, daripada persamaan antara Pas dan Umno meskipun anggota kedua-dua parti adalah sama agama dan mempunyai falsafah hidup yang sama.
Berdasarkan kesamaan isu-isu yang diperjuangkan maka pengungkapan perjuangan tersebut haruslah bersifat inklusif agar sasaran yang bersifat majmuk dapat menerimanya.
Sekiranya pengungkapan perjuangan menggunakan istilah atau bahasa yang bersifat eksklusif (misalnya Islam di mana mereka yang bukan Islam merasakan mereka terkeluar) maka keberkesanannya pada sasaran yang bersifat majmuk adalah terbatas
Posting Komentar